Nasib Wartawan dan Virus Corona

FOKUS2,372 views

HARIANGARUTNEWS.COM – Menyikapi kondisi penyebaran Virus Corona atau Covid-19 hari-hari ini, banyak daerah yang sudah menerapkan kebijakan Karantina Wilayah. Kebijakan tersebut mewajibkan semua warga harus tinggal di rumah (Stay at Home) dan melakukan pekerjaan dari rumah (Work from Home). Anak sekolahpun sudah diliburkan hampir dua minggu berjalan, dan mewajibkan para siswa belajar dari rumah (Online Learning).

Bagi beberapa kelompok warga, kebijakan Lock Down ala Indonesia atau karantina biaya mandiri itu tidak begitu merepotkan, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai pegawai pemerintah atau pengusaha. Kelompok warga ini, walau di level kepegawaian rendahan sekalipun, masih memiliki harapan untuk mendapatkan tunjangan pembiayaan hidup sehari-hari. Minimal dari gaji bulanan mereka.

Namun, bagi sebagian besar masyarakat lainnya, kebijakan stay at home merupakan sesuatu yang sangat merisaukan. Karyawan atau buruh pabrik, pedagang kaki lima, dan tukang ojek adalah beberapa kelompok masyarakat yang hidupnya hanya berharap dari kerja harian. Uang yang didapat hanya cukup untuk biaya hidup dari hari ke hari. Dapat uang hari ini, habis untuk biaya hari ini, kadang tidak cukup.

Tak terkecuali para kuli tinta, kondisi demikian merupakan situasi yang dihadapi jurnalis sekarang ini. Kehidupan mereka juga amat memprihatinkan, hidup sehari ke sehari dengan pendapatan yang seadanya.

Wartawan Indonesia adalah salah satu kelompok rakyat yang selama ini terabaikan di negerinya sendiri. Taraf perekonomian kebanyakan para jurnalis tergolong berada di bawah garis pra-sejahtera. Terdapat beberapa faktor yang membuat kesejahteraan para jurnalis di tanah air sulit beranjak naik. Jangankan untuk menabung, pendapatan sehari-hari saja hanya cukup untuk biaya keseharian keluarganya.

Jikapun ada wartawan yang sejahtera, umumnya mereka adalah pemilik media atau jurnalis yang mempunyai bisnis di luar jurnalistik. Beberapa perusahaan media yang memiliki ratusan wartawan, sebutlah Kompas sebagai contoh, mungkin dapat memberikan penghasilan yang hampir memadai bagi wartawannya. Perusahaan media nasional itu memiliki beberapa jaringan bisnis non-jurnalitik, seperti properti, perhotelan, hingga perkebunan dan pertambangan.

Hal tersebut menjadikan media-media raksasa dapat bertahan di tengah gelombang dasyat kemajuan media online yang tidak dapat dimonopoli oleh media tertentu saja. Walaupun begitu, pola pemberian gaji bagi para wartawan media nasional juga, tidaklah sama atau merata bagi wartawannya itu sendiri. Kinerja sang wartawan amat menentukan penghasilan yang bersangkutan. Dengan kebijakan media besar seperti ini, tentunya masih menyisakan banyak rekan wartawannya yang hidup pas-pasan, dapat sehari habis sehari.

Jika kondisi kalangan jurnalis yang bekerja di media-media besar masih cukup memprihatinkan, maka dapat dibayangkan kehidupan para jurnalis di daerah-daerah yang hanya bermodal idealisme dan semangat empat-lima. Bekerja dengan bermodal sebuah android untuk merekam hasil wawancara sekaligus mengambil foto sang narasumber dan obyek berita, tentunya tidak akan memberikan hasil dan pendapatan yang cukup.

Akibatnya, di saat-saat genting masa karantina seperti sekarang, kalangan jurnalis merupakan kelompok rakyat yang amat rapuh dari sisi ekonomi. Sebagian besar mereka tidak memiliki persediaan kebutuhan hidup, tidak juga memiliki tabungan dana yang memadai untuk menjalani masa stay at home, walau untuk beberapa hari saja.

Wartawan tidak akan pernah berputus asa, apalagi mengeluh, terlebih lagi mengemis kepada siapapun. Idealisme seorang wartawan yang selalu siap untuk hidup menderita merupakan pegangan utama bagi mereka. Jangan pernah berharap bahwa wartawan akan datang ke pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk sekedar meminta bantuan. Justru, para jurnalis sejati akan bergerak untuk menggalang kekuatan dalam mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.

Wartawan hanya lantang suara ketika memperjuangkan rakyat, tetapi diam seribu bahasa jika bicara soal nasib-hidupnya sendiri. Walaupun wartawan diam, janganlah beranggapan mereka kuat dan mampu bertahan tanpa makan minum sehari-hari.

Wartawan tetaplah manusia. Mereka butuh asupan makanan untuk tetap bisa hidup. Mereka juga butuh menghidupi anak-istrinya sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaannya di keluarganya. Pemerintah semestinya tidak melupakan kalangan jurnalis sebagai bagian dari rakyat yang wajib diayomi dan dilindungi hidupnya. Berikan akses ke sumber-sumber ekonomi yang ada di lingkungan pemerintah, baik dari alokasi anggaran APBN/APBD maupun bentuk bantuan lainnya. (Dilansir dari Media Jabar Net)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *