hariangarutnews.com – Keputusan pemerintah Indonesia mengakuisisi hotel 1.461 kamar beserta lahan 4,4 hektare di kawasan Thakher City, Makkah, memicu diskusi luas di ruang publik. Langkah islami ini bukan sekadar ekspansi aset luar negeri, tetapi sinyal transformasi cara negara hadir bagi jamaah. Di tengah meningkatnya biaya umrah dan haji, kepemilikan langsung aset strategis dekat Tanah Suci memberi harapan baru bagi layanan ibadah yang lebih terjangkau, terstruktur, serta terkelola secara profesional.
Majelis Musyawarah Bekasi (MMB) menyebut langkah Presiden Prabowo sebagai terobosan islami yang memadukan kepentingan ekonomi serta pelayanan umat. Penilaian ini menarik, sebab jarang ada kebijakan luar negeri yang bernuansa religius sekaligus bisnis. Akuisisi hotel raksasa di Makkah dapat dibaca sebagai strategi geopolitik soft power, investasi jangka panjang, serta bentuk penguatan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar. Namun, keberhasilan rencana ini bergantung pada tata kelola, transparansi, serta integritas pengelola.
Dimensi Islami di Balik Akuisisi Hotel Makkah
Melihat keputusan ini dari sudut pandang islami, terdapat nilai strategis yang melampaui urusan ekonomi. Islam mendorong kemudahan ibadah, pemeliharaan martabat musafir, termasuk jamaah haji serta umrah. Dengan memiliki hotel besar dekat Masjidil Haram, negara berpeluang menyediakan akomodasi lebih layak sekaligus mengurangi ketergantungan pada pihak asing. Kemandirian layanan ibadah ini sejalan prinsip izzah, kehormatan umat, serta tanggung jawab pemimpin terhadap kesejahteraan warganya.
Konsep wakaf produktif kerap dijadikan rujukan ketika membahas investasi bernuansa islami. Walau aset tersebut bukan wakaf, semangatnya bisa mendekati model ekonomi berorientasi maslahat publik. Jika pengelolaan hotel Makkah diarahkan untuk menopang biaya layanan haji, pendidikan, maupun pemberdayaan umat, dampak sosialnya akan meluas melampaui manfaat komersial biasa. Di titik ini, kebijakan Presiden Prabowo membuka ruang inovasi instrumen keuangan syariah yang terkoneksi langsung dengan Tanah Suci.
Namun, label islami tidak boleh sebatas narasi simbolik. Esensi ekonomi islami bukan pada nama arab atau lokasi dekat Ka’bah, melainkan pada keadilan, transparansi, serta distribusi manfaat yang merata. Hotel berkapasitas besar tersebut harus dikelola secara profesional, bebas riba, menjauhi praktik monopoli, serta memastikan jamaah kelas menengah ke bawah memperoleh akses sepadan. Tanpa itu, investasi di Makkah berisiko berubah menjadi proyek elitis, jauh dari ruh keadilan sosial yang diajarkan Islam.
Sinergi Ekonomi, Diplomasi, dan Pelayanan Jamaah
Dari sisi ekonomi, akuisisi hotel 1.461 kamar membuka banyak peluang. Skala besar memungkinkan efisiensi operasional sekaligus optimalisasi pendapatan. Arus jamaah umrah serta haji dari Indonesia setiap tahun sangat besar, sehingga kebutuhan akomodasi relatif stabil. Bila diatur bijak, penerimaan hotel dapat menopang subsidi biaya layanan ibadah atau memperbaiki sarana bimbingan manasik. Di sini, ekonomi islami hadir bukan sekadar mencari laba, tetapi memutar keuntungan kembali ke umat.
Diplomasi juga ikut terdorong melalui langkah ini. Kepemilikan aset besar di Makkah menegaskan peran Indonesia sebagai mitra penting bagi otoritas Arab Saudi. Hubungan kedua negara dapat berkembang, tidak hanya pada sektor energi atau pekerja migran, tetapi juga pada ekosistem pariwisata religi. Kolaborasi manajemen islami lintas negara berpeluang melahirkan standar baru layanan jamaah. Jika berhasil, model ini bisa menginspirasi negeri muslim lain yang ingin memperkuat posisinya di Tanah Suci.
Bagi jamaah haji maupun umrah, dampak paling terasa terletak pada kenyamanan dan kepastian layanan. Kepemilikan hotel sendiri memberi ruang negosiasi harga lebih fleksibel, potensi pengendalian standar kualitas, serta jaminan tempat tinggal yang konsisten dari tahun ke tahun. Apabila sistem reservasi diatur transparan, jamaah reguler, jamaah lansia, serta kelompok disabilitas dapat diprioritaskan sesuai kebutuhan. Pendekatan pelayanan islami tercermin melalui perhatian pada kelompok rentan, bukan hanya tamu dengan kemampuan finansial paling besar.
Tantangan Tata Kelola dan Harapan Umat
Meski terlihat menjanjikan, tantangan terbesar langkah islami Presiden Prabowo ini berada pada area tata kelola. Keterlibatan BUMN, lembaga keuangan syariah, serta otoritas terkait harus diiringi mekanisme audit terbuka. Skema pemanfaatan keuntungan perlu dijelaskan sejak awal: berapa persen untuk perawatan aset, berapa dialokasikan bagi subsidi jamaah, berapa mengalir ke pendidikan atau sosial. Tanpa rencana rinci, publik sulit mengawasi. Pada akhirnya, masa depan proyek ini akan menjadi cermin seberapa serius negara mempraktikkan prinsip ekonomi islami, bukan hanya menjadikannya jargon politik.
Analisis Pribadi: Antara Visi Besar dan Risiko Nyata
Dari kacamata pribadi, langkah ini tampak visioner sekaligus berani. Jarang sekali Indonesia melakukan ekspansi aset fisik berskala masif di pusat peradaban islami dunia. Presiden Prabowo seolah ingin meninggalkan jejak kebijakan luar negeri yang menyatu dengan identitas keislaman bangsa. Apabila strategi ini dilanjutkan dengan perencanaan matang, Indonesia bisa memiliki “rumah besar” untuk jamaah sendiri, bukti nyata bahwa negara hadir bukan hanya lewat slogan.
Namun, visi besar selalu membawa risiko. Pengalaman masa lalu menunjukkan, proyek bernilai tinggi sering tergelincir pada inefisiensi, konflik kepentingan, bahkan korupsi. Di sini, nilai islami harus menjadi pagar moral sekaligus sistem. Pengelola hotel Makkah idealnya lolos seleksi berbasis kompetensi dan integritas, bukan kedekatan politik. Pengawasan publik, peran ulama, cendekiawan muslim, serta pelaku industri perhotelan perlu diintegrasikan agar keputusan bisnis tidak lepas dari etika islami.
Ada satu kekhawatiran lain: komersialisasi berlebihan atmosfer ibadah. Hotel mewah, pusat belanja, serta gaya hidup konsumtif kerap menggeser kekhusyukan jamaah. Karena itu, pengembangan aset perlu memasukkan dimensi spiritual secara serius. Interior, layanan, hingga program pembinaan rohani dapat dirancang bernuansa islami yang teduh, bukan sekadar glamor. Dengan cara itu, keberadaan hotel tidak mengurangi kekhidmatan Makkah, melainkan mendukung suasana ibadah yang lebih fokus serta penuh syukur.
Mengukur Keberhasilan dari Kaca Mata Umat
Keberhasilan akuisisi hotel Makkah seharusnya diukur terutama dari perspektif jamaah biasa, bukan hanya angka laporan keuangan. Bila beberapa tahun ke depan biaya paket resmi menurun atau fasilitas meningkat signifikan, publik akan merasakan manfaat konkret. Di sisi lain, transparansi tarif, akses informasi, serta mekanisme pengaduan harus diperkuat. Pendekatan islami menuntut kejujuran penuh terhadap pelanggan, apalagi ketika pelanggan tersebut adalah tamu Allah yang sedang beribadah.
Indikator lain terletak pada seberapa besar investasi ini mendorong kemajuan sumber daya manusia muslim Indonesia. Hotel 1.461 kamar membutuhkan manajer, staf perhotelan, tenaga kebersihan, ahli IT, hingga konsultan syariah. Jika rekrutmen memberi porsi luas untuk tenaga kerja Indonesia, terutama lulusan sekolah pariwisata syariah, dampaknya terhadap ekonomi nasional akan berlipat. Pelatihan etika kerja islami, standar layanan ramah jamaah, serta pengetahuan fiqih safar dapat menjadi kurikulum wajib bagi para pekerja.
Karena itu, sinergi antara Kementerian Agama, Kementerian BUMN, Kementerian Luar Negeri, serta otoritas Saudi menjadi kunci. Setiap kebijakan teknis, dari pembagian blok kamar sampai paket makan, sebaiknya dibahas lintas lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan. Pendekatan kolaboratif ini mencerminkan semangat syura, musyawarah islami, di level kebijakan negara. Tanpa koordinasi solid, visi besar Presiden hanya akan berhenti pada seremoni peresmian, bukan transformasi nyata di lapangan.
Menjaga Ruh Islami di Tengah Bisnis Global
Di era global, industri hospitality di Makkah sangat kompetitif, penuh permainan modal besar. Indonesia memasuki gelanggang tersebut dengan membawa misi islami yang tidak boleh luntur. Tantangannya, bagaimana menyeimbangkan tuntutan profit dengan komitmen pelayanan umat. Jawaban jujur mungkin tidak sederhana, namun pijakan nilai sudah jelas: setiap rupiah keuntungan sepatutnya kembali menguatkan pendidikan, kesehatan, serta kemandirian ekonomi muslim. Bila prinsip itu dipegang, hotel 1.461 kamar di Thakher City bisa menjadi simbol ekonomi islami yang hidup, bukan sekadar gedung tinggi di tengah lautan kompetisi.
Penutup: Menakar Warisan Kebijakan Islami
Pada akhirnya, akuisisi hotel dan lahan luas di Makkah akan tercatat sebagai salah satu kebijakan paling unik dalam sejarah hubungan Indonesia dengan Tanah Suci. Di satu sisi, ia mencerminkan kepercayaan diri baru: Indonesia tidak lagi sekadar pengirim jamaah, melainkan pemilik aset strategis di kota paling sakral umat Islam. Di sisi lain, keputusan ini menjadi ujian sejauh mana jargon ekonomi islami mampu diwujudkan dalam praktik konkret, terukur, serta diawasi publik.
Refleksi penting bagi kita: jangan cepat larut euforia. Antusiasme perlu diimbangi sikap kritis dan partisipatif. Umat berhak menuntut laporan terbuka, skema pemanfaatan keuntungan yang jelas, serta jaminan layanan lebih baik. Bila ruang dialog dibuka, dukungan moral masyarakat muslim Indonesia akan menguatkan legitimasi proyek ini sekaligus mendorong para pemangku kepentingan tetap berada di jalur amanah islami.
Sebagai penutup, warisan kebijakan islami tidak diukur oleh besarnya angka investasi, namun oleh seberapa jauh kebijakan itu mendekatkan umat kepada nilai rahmatan lil ‘alamin. Jika hotel di Thakher City benar-benar menjadi instrumen memuliakan jamaah, meringankan biaya ibadah, memperkuat pendidikan, dan menghadirkan keteladanan tata kelola bersih, maka langkah Presiden Prabowo patut disebut visioner. Namun bila tersandera kepentingan sempit, ia hanya akan menambah daftar aset tanpa ruh. Di titik inilah, doa, pengawasan, serta partisipasi kita sebagai bagian dari umat menjadi penentu arah masa depan investasi islami di jantung Makkah.













