Oleh : Wulan Purwanti
Pernah sekali waktu aku ditanya/
Perihal apa yang paling membuatku terluka dan kecewa/
Saat itu, rasanya hampa/
Aku bingung memilih mana yang akan kuutarakan/
Rasanya, terlalu banyak saja/
Sampai disuatu ketika/
Aku menatap mata sembab di depan cerminku dengan tatapan kosong/
Sedikit memerah dan menyipit perih/
Masih terlihat linangan air mata menggenangi kelopaknya/
Aku bertanya kembali/
Perihal pertanyaan yang pernah seseorang tanyakan padaku itu/
Tak ada jawaban/
Hanya air mata yang memberi jeda/
Aku kembali bertanya, kamu kenapa/
Tangisan kembali pecah/
Seiring semua harapan yang dirasa pupus/
Ditengah jalan kembali menggerayangi otak dan pikiran/
Semua seperti komedi putar/
Satu persatu memutar membayang kelam/
Tak ada tangan hangat yang mendekap/
Tak ada tutur lembut yang menggelayut/
Tak ada siapapun yang bisa dijadikan tempat bernaung/
Orang di cerminpun kian meraung/
Isakan yang semakin dalam terasa semakin mengoyak pendengaran/
Aku tak tahan/
Kubantingkan gunting di tangan/
Kuhancurkan cermin penuh kelemahan/
Kubuat ia hancur lebur tak berbentuk lagi/
Berharap, luka yang ia rasapun pergi.