Pupuk Bersubsidi Raib, Petani di Bayongbong Garut Mengaku Lelah “Dininabobokan” Pemerintah

FOKUS3,919 views

“Dulu penyaluran pupuk subsidi sempat tersedia melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), itupun stoknya terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan para petani. Sekarang apalagi, selain mahal pupuk bersubsidi pun susah didapat. Jadi kemana larinya? Sedangkan untuk beli pupuk nonsubsidi harganya mahal,” ujar salah seorang petani, Nanang Koswara, warga Desa Sukamanah, Kecamatan Bayongbong.

Petani asal Bayongbong, Nanang Koswara, berharap Pejabat Pemda Garut bisa berdialog dengan para petani.

Nanang mengungkapkan, dirinya bersama petani lainnya terpaksa membeli pupuk nonsubsidi, meskipun mahal. Menurut dia, menggunakan pupuk nonsubsidi, biaya sarana prasarana produksi yang dikeluarkan para petani meningkat, dampaknya pendapatan petani berkurang.

“Saat ini harga pupuk subsidi jenis phonska Rp 150 ribu per sak (50 kilogram), sedangkan harga pupuk TS dan ZA Rp 350 ribu per sak. Sementara harga pupuk non subsidi Tawon mencapai Rp800 ribu. Di pasaran semua jenis pupuk non subsidi mengalami kenaikan harga, ditambah jenis pupuk phonska langka di pasaran, dan harga obat-obat pertanian melambung tinggi,” kata Nanang.

Dia mengatakan, stok kebutuhan pupuk subsidi tidak seperti yang sering diungkapkan para pejabat pemerintahan yang selalu meninabobokan dan menyatakan ketersediaan pupuk subsidi untuk para petani tercukupi. Namun faktanya, kelangkaan pupuk subsidi dan mahalnya harga pupuk menjadi kendala yang dihadapi para petani dari tahun ketahun.

“Permasalahan yang dihadapi petani di Desa kami dan daerah lainnya di Garut yakni kelangkaan pupuk subsidi dan mahalnya harga pupuk non subsidi telah menjadi kendala setiap tahunnya. Cobalah sekali-kali pejabat Pemda Garut turun ke lapangan dan berdialog dengan kami,” tandasnya.

Dia berharap permasalahan kelangkaan pupuk subsidi di daerah menjadi perhatian khusus pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, selain itu, Nanang juga berharap harga bawang merah, kol, cabe tetap stabil karena jika harga sayuran tersebut dibawah standar maka para petani tidak mendapatkan keuntungan.

“Kalau harga sayuran dibawah harga standar, maka kami para petani tidak mendapatkan keuntungan dari hasil panen karena biaya operasional tidak sebanding harga jual,” pungkas Nanang Koswara. (Igie)

Komentar ditutup.