Pada kesempatannya untuk mengutarakan pendapat, Raden menyampaikan bahwa pemerintah sudah keliru dalam menyikapi radikalisme.
“Tanpa radikalisme, negeri ini tidak akan ada. Radikal merupakan suatu metode berpikir yang bersifat mengakar, dan substantif. Hingga pada akhirnya metode ini banyak dianut atau dipakai dalam menyelesaikan persoalan sehingga melahirkan suatu pemahaman cara berfikir radik atau yang dikenal dengan radikalisme,” ujar Raden.
Kenyataan tersebut menurut Raden, dapat dibuktikan dalam catatan sejarah nasional bangsa Indonesia, bagaimana rakyat dahulu begitu radik menentang sistem kolonialisme Belanda yang begitu menyengsarakan rakyat Indonesia. Hal itu dilakukan dengan komit semangat bangsa ini sampai pada detik-detik bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
“Kita sudah keliru, kerap menyebut tindakan kekerasan dengan istilah radikal, padahal bukan radikal melainkan anarkis atau teror,” paparnya.
Adapun jika ada tindakan-tindakan yang bersifat politis, kata dia, yakni yang bersifat melawan konstitusi dan hukum, seperti gerakan kudeta/makar atau penggulingan kekuasaan negara secara paksa seyogianya pemerintah perlu menegaskan kembali sikapnya melalui perundang-undangan secara objektif dan proporsional agar tidak ada pihak atau golongan yang merasa terdiskreditkan oleh istilah-istilah atau diksi yang tidak tepat.
“Sejauh ini kita tengah disibukan oleh issue-issue yang belum jelas dasar hukumnya. Radikalisme seperti apa yang harus kita tangkal? Sejauh ini pemerintah melalui DPR RI tidak memberikan definisi melalui undang-undang terkait radikalisme. Jadi apa yang harus kita tangkal sebetulnya. Makanya ini DPR RI jangan bikin kita ambigu donk,” tegas Raden disela pembicaraannya.
Sambungnya lagi, jika terorisme dan ujaran kebencian, itu kan sudah jelas penjabarannya dalam undang-undang ITE, KUHP dan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme.Pada kesimpulannya radikalisme menurut Raden bukan untuk diperangi dan bukan untuk ditangkal, melainkan direspon secara positif sebagai bentuk aktualisasi sistem demokrasi dari dimensi cara berpikir falsafatis yang diharapkan melahirkan weltanschauung yang konstruktif.
“Tidak ada Islam Radikal atau agama lain yang radikal, yang ada hanyalah kelompok atau oknum separatis dan kelompok teroris,” pungkas aktivis tersebut dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Garut tersebut. (Igie)
Komentar ditutup.