Bandros Legendaris Mang Ayo dari Wanakerta, Berjualan Sejak Jaman Presiden Soeharto 

FOKUS2,364 views

HARIANGARUTNEWS.COM – Kue Bandros memiliki akar budaya yang begitu dalam, terutama bagi masyarakat yang berasal dari Sunda, Jawa Barat. Nama Bandros sendiri berasal dari kata Bahasa Sunda yang berarti “ditumbuk atau dipukul”, hal ini merujuk pada proses pembuatannya yang melibatkan penumbukan bahan-bahan utama dari adonan kue tersebut.

Salah seorang pedagang Bandros dari Kampung Babakan Cau RT02/08 Desa Wanakerta Kecamatan Cibatu Kabupaten Garut, Ayo Sunarya (62 Tahun), dalam bincang-bincang dengan dengan hariangarutnews.com, Rabu (27/11/2024), mengaku, dirinya sudah berdagang sejak zaman Presiden Indonesia kedua, Soeharto. Sampai saat ini Ayo masih tetap berdagang jajanan kuliner tersebut.

Bandros Mang Ayo cukup populer di kalangan masyarakat Cibatu.

Biasanya Ayo berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 WIB dengan berjalan kaki melintasi Kampung Cikare’es, Babakan Kandang, Sukamanah, Panyingkiran hingga Kampung Keresek. Dia mengaku, sudah berdagang sejak tahun 1991, dan bandros dagangannya cukup dikenal masyarakat setempat.

“Angkat ti tabuh 06.00 dugi 08.00 WIB. Mung enjing-enjing hungkul tos teu kiat sapertos tipayun. (Berangkat dari pukul 06.00 sampai 08.00 WIB. Cuma dagang pagi-pagi aja udah gak kuat seperti dulu),” ujar suami dari Titi Sopiah tersebut.

Jika sebelumnya, kenang Ayo, dalam satu hari ia mampu menghabiskan adonan Bandros sekitar 6 Kg, sekarang hanya 2 Kg dengan penghasilan berkisar Rp100.000. Meski dirasa pas-pasan penghasilan tersebut masih dapat mencukupi kebutuhan hidup termasuk mencukupi keperluan anak dan istrinya.

Diakuinya, profesi berjualan bandros sudah ia geluti sejak 35 tahun silam. Selama itu pula dirinya hanya bergantung pada penghasilan yang diakuinya pas-pas an tersebut. Terlebih biaya opersional berjualan bandros dirasa semakin tinggi bahkan tak jarang dirinya tidak berjualan karena disebabkan kesulitan mencari gas melon yang biasa digunakan untuk memasak adonan Bandrosnya.

“Saya tidak punya keahlian atau penghasilan lain, sudah 35 tahun ini cuma berjualan bandros. Dulu sempat jualan empe-empe, candil, cendol dan bubur kacang. Sekarang harga tepung terigu mencapai Rp17 ribu. Dulumah pakai minyak tanah masih harga Rp500 sekarang pakai gas LPG 3 Kg Rp21 ribu. Harga jual Bandros juga masih 25 perak, sekarang udah Rp500,” kenang Ayo.

Meski hanya meraup keuntungan Rp50 ribu perhari, ia tak merasa kecewa dan tetap optimis. Ia mengungkapkan, semuanya telah diatur oleh Allah SWT. Manusia hanya bisa bisa berikhtiar dan menikmati kehidupan serta membuat bekal untuk kelak di akhirat nanti. (*)