Sunah Moderasi Beragama

Oleh : Dr. H. Dindin Solahudin, MA | Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pengurus MUI Kabupaten Bandung

HARIANGARUTNEWS.COM – Watak moderat Islam tampak kental sedari awal. Menjabarkan Quran, banyak Hadis mendalilkan moderasi Islam yang serta merta meniscayakan moderasi bergama. Atas dalil-dalil itu, tidak berlebihan dinyatakan bahwa moderasi beragama merupakan sunah Rasul.

Tersebutlah tiga orang sahabat Nabi Muhammad SAW, cerita Anas bin Malik (Bukhari no. 5063), melakukan survey mewawancarai isteri-isteri Nabi dengan tujuan mengetahui praktik beragama Nabi. Usai wawancara, mereka menarik simpulan bahwa praktik beragama Nabi itu biasa-biasa saja, tidak mewah, bahkan terbilang sedikit. Mereka memandang wajar Nabi itu minimalis dalam beribadah karena Nabi sudah mengantongi jaminan ampunan Allah atas kesalahan yang lalu dan ke depan. Sedangkan mereka merasa belum mempunyai jaminan ampunan, maka mereka berpikir harus maksimal dalam praktik beragama.

“Saya akan salat sepanjang malam dan tidak akan tidur,” ujar orang pertama.

“Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan bocor seharipun,” tekad orang kedua.

Orang ketiga berikrar, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah seumur hidup.”

Nabi Muhammad SAW kemudian menghampiri tiga orang tersebut dan menyergah, “Kaliankah yang berjanji tidak akan tidur untuk salat sepanjang malam, akan berpuasa sepanjang tahun, dan bersikap anti wanita tidak mau menikah!?”

Tanpa menunggu jawaban mereka, Nabi melanjutkan arahan moderasi beragama kepada tiga sahabat yang berniat ekstrem beragama ini.

“Camkanlah, demi Allah, sungguh saya ini, diantara kalian, adalah orang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah. Akan tetapi, saya berpuasa dan juga berbuka (tidak berpuasa sepanjang tahun). Saya salat dan juga tidur (tidak salat sepanjang malam tanpa tidur). Saya juga menikahi sejumlah wanita (tidak antiwanita).”

Nabi hendak memastikan bahwa moderasi beragama itu merupakan sunahnya. Maka ia ujarkan ultimatum, “Orang yang tidak suka sunahku ini bukanlah termasuk golonganku.” Lihat buku Imam Nawawi Riyādhush Shālihin bab moderasi beribadah (hlm 143) atau Shahih Bukhari bab pernikahan.

Beragama Islam secara ekstrem pastinya bertentangan dengan sunah Rasul dalam beragama. Sedemikian tidak ada tawar-menawar soal moderasi beragama sehingga Rasul “mengeliminasi” siapapun yang ekstrem beragama dari kalangan umatnya. Kebijakan Rasul ini masuk akal sepenuhnya karena agama Islam yang segenap syariatnya berpijak pada prinsip-prinsip moderasi (i’tidāl, istiqāmah, dan iqtishād) tidak bisa dijalankan secara ekstrem.

Esktremitas beragama menyalahi jatidiri agama itu sendiri. Maka, moderasi beragama merupakan keniscayaan dalam kehidupan beragama yang setia pada kebenaran agama dengan menjalankan sunah Rasul.
Namun, seiring dengan upaya kuat menjadi hamba-Nya, tak sedikit Muslim menunjukkan gairah ibadah, secara ritual dan spiritual, yang terus meningkat hingga mencapai titik kulminasi tertinggi. Ini bisa berrisiko pada ekstremitas berkelebihan ifrāth. Atau, sebaliknya, bila seorang Muslim mencapai titik jenuh dalam beribadah, ia menghada[i risiko ekstremitas berkekurangan tafrīth.

Ekstremitas ifrāth terjadi saat praktik peribadatan ritual dan spiritual melampaui kemampuan, kesiapan, dan stamina spiritual individu. Begitu bersemangatnya seseorang melakukan suatu aktivitas peribadatan sampai-sampai ia lupa diri tenggelam asyik-ma’syuk dalam ritual ibadah di luar kebutuhan dan kemampuan dirinya. Ibarat makan berkelebihan di atas porsi kewajaran, orang akan mengalami kekenyangan ekstrem yang menyebabkan ketidakseimbangan bahkan menimbulkan sejumlah penyakit bagi tubuhnya.

Praktik ibadah yang berlebihan itu mencederai standar keistikomahan. Quran (11: 112) mengingatkan, “Bersikap istikomahlah sebagaimana engkau dan orang yang bertobat bersamamu diperintahkan. Janganlah melanggar batas-batas kewajaran, sesungguhnya Allah maha melihat atas apa yang kalian kerjakan.”

Melalui isyarat tegas ayat tersebut, Allah menghendaki kita berlaku istikomah (baca: moderat) tanpa kethagutan (berkelebihan melewati standar kewajaran). Thaghut adalah melampaui keseimbangan batas dan standar, yakni melewati batas yang disyariatkan dan ekstrem berkelebihan.

Menafsirkan ayat di atas, Ibnu Jarir mengatakan, Allah menjelaskan bahwa istikomah itu nicaya tanpa tughyān, yakni melewati batas. Perilaku yang Allah kehendaki dari seorang hamba adalah istikomah, yakni konsisten pada kebenaran secara tepat/persis (as-sidād). Kalau tidak mampu secara tepat, setidaknya mendekati kebenaran. Nabi Muhammad saw bersabda, “Beragamalah secara tepat dan benar atau, sekurang-kurangnya, mendekati kebenaran.”

Berkelindan dengan hadis tersebut, Imam Nawawi berpendapat, moderasi (al-wasat) itu adalah persis (as-sidād) dan as-sidād itulah yang benar (ash-shawāb). Alhasil, moderasi adalah kebenaran. Maka, lanjut Nawawi, “Janganlah ekstrem berkelebihan (al-ghuluw) dan jangan pula ekstrem berkekurangan (at-taqshīr).”

Senada dengan Imam Nawawi, Auza’i berpikir, setiap orang beramal, selalu dihadang setan kearah dua kemungkinan buruk: ekstrem maksimalis (al-ghuluw) atau ekstrem minimalis (at-taqshīr). Setan tidak peduli ke arah mana manusia terjebak, yang penting tidak moderat.

Pantas saja kata Sa’dawi, sesuai dengan kepentingan setan, ekstremitas cenderung mengarah pada sikap makar perlawanan (al-bagyu) dan permusuhan (al-‘udwān). Ekstremitas selalu berrisiko pada sikap ekstrem lanjutan. Kaum ekstrem kanan cenderung terjebak pada sikap pengafiran (at-takfīr), yakni gampangan menuding orang yang sekadar bermaksiat dan berdosa sebagai kafir, tidak beriman, atau zindik.

Sebaliknya, kaum ekstrem kiri cenderung gampangan melabeli orang yang giat beribadah secara maksimal sebagai radikal ekstrem. Kedua kelompok ekstrem itu tentu saja mencederai moderasi Islam. Benarlah Imam Hasan Basri saat menyatakan, “Syariat Allah itu moderat, antara kemewahan dan kerendahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *