“Namun kebijakan ini tentu saja mengandaikan sarana dan alat medis lainnya, sementara yang pokok juga tersedia untuk diselesaikan. Sarana prasarana medis di RS dr. Slamet sebagai rumah sakit rujukan bagi pasien covid-19 dan APD tenaga medis. Jika tidak maka ironis. Masker yang bisa dibeli secara mandiri oleh warga bisa diselesaikan, namun sarana prasarana pokok dan APD tenaga medis tidak,” tukas Hasan, Kamis (07/06).
Jadi, lanjut Dia, jangan sampai seperti beberapa waktu lalu ada protes dari beberapa organisasi kesehatan di Garut yang tidak mau bekerja jika APD tidak tersedia. Alat test massal juga harus tersedia, karena alat ini yang diperlukan untuk mendeteksi seseorang yang terkena virus.
Terkait masker ini, kata Hasan, persoalan beberapa waktu lalu yaitu sulit dibeli karena langka dan harganya naik drastis. Namun saat ini masalah tersebut sudah dapat terselesaikan sebab kreatifitas home industri membuat masker dari kain dan bahan lainnya, dengan harga murah dan ketersediaannya relatif cukup.
“Sehingga pilihan refokusing pada pengadaan masker ini, terbilang bukanlah prioritas, sebab dapat diakses warga secara mandiri. Dengan adanya kebijakan pengadaan masker ini, bagi warga yang terpaksa keluar rumah karena berbagai kepentingan tidak dapat ditindak jika tidak menggunakan masker karena masker sudah disiapkan pemda. Jadi Pemdanya yang harus ditindak jika warga tidak pakai masker, bukan warga,” tegasnya.
Hasanuddin menambahkan, semestinya pengadaan masker ini tidak mesti terpusat pada dinas tertentu, pengadaannya dapat diserahkan pada puskesmas yang ada, dialokasikan saja anggarannya bagi puskesmas untuk membeli masker. Sehingga distribusinya bisa melalui puskesmas, karena tenaga medis di puskesmas yang memerlukan ini, baik bagi mereka maupun pasien yang hendak berobat atau warga sekitar, cetusnya.
“Tapi pemerintah daerah sepertinya punya skema lain, ada bagusnya juga nanti pertanggungjawaban keuangannya juga pada bupati,” pungkasnya. (Igie)
Komentar ditutup.