HARIANGARUTNEWS.COM – Kota Garut terkenal dengan sejumlah ciri khasnya, mulai dari Domba Garut, Jeruk Garut, Dodol Garut, Jaket Kulit Asli Garut dan Batik Tulis Khas Garut serta ada pula sejenis makanan seperti Burayot dan lainnya.
Dari beberapa jenis ciri khas tersebut, hariangarutnews mencoba mengangkat lebih dalam menguak fakta Batik Tulis Garut dengan turun ke lapangan yakni menemui salah seorang pengrajin Batik Tulis Garut untuk mengetahui bagaimana proses pembuatannya.
Ditemui Kurnaesih (70) atau sapaan akrab Mah Enong, warga Jalan Mawar Kampung Pangampaan RT 02/05, Kelurahan Pakuwon, Kecamatan Garut Kota ini adalah salah seorang pengrajin Batik Tulis Garutan yang digelutinya sejak Tahun 1964 hingga sekarang. Mah Enong terbilang cukup lama malang melintang menggeluti seni tulis batik, diawali mengikuti jejak ibunya almarhumah Ibu Eno yang juga pengrajin Batik Tulis Garut.
Mah Enong bekerja di Pabrikan Batik Lokal Garut RM, saat ditemui Ia mengutarakan pengalamannya dalam menekuni batik tulisnya, mulai dari proses pembuatan batik dari awal sampai akhir.
“Lama Proses pembuatan batik tulis minimal dua bulan untuk satu bahan batik tergantung bahan dan corak batik yang dibuat, dengan lima kali proses pengerjaan yakni Nerasan, Nerusan, Biron, Nyolet, Celep dan selanjutnya bahan batik jadi,” ujar Mah Enong, Selasa (18/06).
Dari lima kali proses hasil karya yang dibuat, tambah dia, untuk satu jenis proses pengerjaan dibayar dengan harga Rp120 ribu per satu bahan batik, cetusnya. Mah Enong mengaku, dirinya juga pernah mengajar cara menulis batik di beberapa tempat di Garut bahkan ke Kota Bandung, dengan harapan ada penerus kedepannya yang melestarikan Batik Garutan. Selain itu Ia juga pernah ikut pameran Batik Tulis Garut ke beberapa kota di Indonesia bahkan mancanegara.
“Sekarang para pengrajin batik tulis Garut mulai berkurang,” ujar Mah Enong.
Saat di kunjungi hariangarutnews, kondisi Mah Enong walau usia senja masih bekerja dan tekun menulis batik yang menjadi kebanggan Kabupaten Garut. Ironisnya, diatas tanah beserta bangunan tempat bekerja berukuran 3×5 meter persegi yang pernah ditinggali bersama suaminya yang mantan pegawai PJKA (kini PT. KAI) itu kini harus tergerus pembangunan.
“Saat ini saya bersama cucu kebingungan tempat tinggal karena rumah kecil ini tak bisa ditinggali lagi akibat dampak reaktivasi PT KAI. Kemungkinan saya berhenti membatik,” ujar Mah Enong sambil berurai air mata.
Dengan nada menahan sedih, Mah Enong sangat berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Garut bisa memperhatikan dan bisa memfasilitasi untuk tempat tinggalnya yang saat ini akan di gusur.
“Minimal kami bisa punya tempat tinggal yang layak,” harapnya. (NDY)