HARIANGARUTNEWS.COM – Kegiatan rotasi mutasi pejabat eselon III dan IV di Lingkungan Pemkab Garut kerap menuai pendapat miring dari sejumlah pihak. Pasalnya, diantara sekian banyak pejabat yang di rotasi dan mutasi tersebut ada yang dinilai tidak tepat untuk menduduki salah satu jabatan tertentu.
“Pada prinsipnya para pejabat diwajibkan untuk menjalankan asas pemerintahan yang baik. Apabila seleksi jabatan, pembinaan SDM dilakukan secara akuntabel, transparan, kompetitif, dan kejujuran, maka pastilah saat menempatkan seseorang akan dicari setepat mungkin,” ujar Ketua Perhimpunan Masyarakat Transparansi Jawa Barat (Mata Jabar), Iyep S Arrasyid, Selasa (12/09/2023) kepada hariangarutnews.com.
Artinya, kata Iyep, Tim Penilai Kinerja yang dulu disebut Baperjakat harus mencermati hal itu jangan sampai dipindahkan ke tempat yang berpotensi dan terkesan malah mendapat reward yang seharusnya berupa punishment. Karena hal tersebut, katanya, dinilai dapat menimbulkan kecemburuan kalangan pegawai di Lingkungan Pemkab Garut sehingga dikhawatirkan banyak yang berpendapat jika menginginkan jabatan strategis tak perlu berkinerja baik dan berkompeten, cukup mengandalkan hubungan emosional semata.
“Ini juga tak lepas dari peran Badan Kepegawai Daerah (BKD) sebagai salah satu bagian Tim Penilai Kinerja (TPK) yang notabene memiliki banyak fungsi mulai dari mencermati, meneliti, menganalisis sekaligus membina para pegawai,” ujarnya.
Dengan demikian, Ketua Mata Jabar menilai permasalahan tersebut terjadi akibat lemahnya peran dan fungsi BKD dalam menjalankan tupoksinya.
”Sebagaimana yang tertuang dalam aturan pun sudah dijelaskan bahwa menentukan kedudukan seseorang pejabat itu harus dinilai dari berbagai aspek. Contoh, aspek sosial, akhlaq, perilaku, tindakan dan hal lain yang menyangkut kepribadiannya. Salah satunya dengan manajemen ASN yang baik menjadi salah satu cara untuk pencegahan kerancuan jabatan. Apabila manajemen ASN diletakkan pada posisi yang tepat dan dipedomani, dijadikan sebagai tata cara disiplin pengelolaan ASN, maka dugaan like dislike pada rotasi mutasi tidak terjadi,” papar Ia.
Sejatinya, sambung Iyep, Pemkab Garut bisa mengevaluasi kembali atas keputusan-keputusan rotasi mutasi tersebut jangan sampai menimbulkan banyak asumsi miring baik dikalangan pegawai maupun di masyarakat. Ini koreksi bagi birokrasi terutama pihak BKD untuk kedepan agar lebih menerapkan lagi peran dan fungsinya khususnya dalam menjalankan fungsi analisis jabatan bagi tiap pegawai agar tidak mengundang hal-hal yang buruk dan terkesan tidak profesional serta proporsional dalam menempatkan orang.
“Kadang sering tabrakan apa yang disampaikan bupati dengan kenyataan yang terjadi dilapangan meski itu hak preogratifnya. Misal kata bupati pejabat bisa pindah jika sudah dua tahun melaksanakan tugasnya. Faktanya baru sebulan menjabat sekmat, kini diangkat jadi Camat. Dulu Camat Pakenjeng baru menjabat 8 bulan langsung diangkat jadi Sekban BKD dan banyak lagi. Lalu katanya hasil asessment bisa dinaikan jabatannya jika nilai 75, buktinya yang 70 juga banyak yang dipromosikan,” ungkapnya.
Iyep melanjutkan, ada camat yang dilantik berasal dari golongan 3D, memang itu sah-sah saja. Namun, kata dia, apa tidak ada pejabat golongan 4A dari IPDN misalnya yang lebih berkompeten. Belum lagi terkait sistem merit yang persoalannya kian mengkristal karena tidak pernah ada pengumuman dari hasil penilaian yang dilaksanakan.
“Bukankah pemberlakukan merit sistem dalam birokrasi bertujuan untuk menghasilkan ASN yang profesional dan berintegritas dengan menempatkan mereka pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintah sesuai kompetensinya dengan pemberian kompensasi yang adil dan layak. Menurut saya sebaiknya pemkab membuat perbup terkait sistem merit sebagai turunan maupun panduan tekhnis dari peraturan pemerintah atau undang-undang jika yang dicanangkan bupati untuk menciptakan birokrasi netral dan mampu melayani kebutuhan publik betul-betul ingin dilakukan. Dalam hal ini sekretaris BKD yang bertugas menyajikan data para calon PNS yang akan di rotasi, mutasi, promosi dan demosi, apakah benar-benar sudah menjalankan fungsinya dengan baik atau malah BKD sudah impoten?,” tandas Ketua Mata Jabar.
Ia menambahkan, selain itu sistem karier dengan pendekatan manajemen talenta saat ini seharusnya mampu memastikan talenta terbaik yang akan mengisi jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, yang didukung dengan pengawasan prinsip meritokrasi.
“Prinsip meritokrasi ini penting untuk memastikan pengisian jabatan semata didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, ditambah rekam jejak integritas atau perilakunya. Hal ini tentu dilakukan tanpa membedakan golongan, apalagi siapa yang mampu membayar lebih,” pungkasnya. (*)