Oleh : Epi Zaenal Hanafi | Pengurus Asgar Jaya
Kita semua sangat berduka atas jatuhnya korban luka dan meninggal saat acara pernikahan pemimpin kita. Tulisan ini sebagai ikhtiar penulis untuk memahami dan menjadikan pelajaran hidup bagi kita agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Kita sangat mengapresiasi niat baik di acara pernikahan ini pihak penyelenggara memberikan acara hiburan dan menyediakan makanan gratis buat warga Garut yang berkeinginan hadir dan ikut merasakan kebahagian atas pernikahan ini. Hanya saja sebagai manusia, dengan segala keterbatasannya, masih ada celah yang terlupakan dari sistim mitigasi resikonya tidak diperhatikan secara maksimal sehingga niat baik berujung bencana.
Pihak penyelenggara melupakan dampak dari kerumunan yang saling berdesakan secara bersamaan dengan jumlah massa yang membludak menuju tempat hidangan makanan disajikan.
Terinspirasi dari analisis Antropolog Sosial dari Universitas Brawijaya, Wida Ayu Puspitisari, penulis sepakat bahwa Tragedi Pendopo Garut bukan saja refleksi dari kemiskinan ekonomi, tetapi juga ‘kemiskinan kognitif’. Kognitif itu adalah pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Miskin kognitif artinya kurang bahkan tidak memiliki pengetahuan maupun pemahaman.
Wida menegaskan bahwa kemiskinan kognitif ini sudah direproduksi secara sistematis dengan sistem pendidikan yang gagal, media yang sering mengutamakan sensasi ketimbang edukasi, hingga struktur sosial yang menghukum pemikiran kritis.
Padahal kita sudah pernah mengalami peristiwa bencana yang sama. Ketika seorang dermawan, H. Syaichon di Pasuruan membagikan zakat pada tanggal 15 September 2008. Pembagiannya secara langsung di lokasi tanpa antrian, diserbu dalam waktu bersamaan, hingga menimbulkan korban luka bahkan sebanyak 21 orang tewas
Demikian pula pada saat pembagian hewan kurban pada tanggal 16 Oktober 2013 di Masjid Istiqlal. Pembagian yang serentak, kerumunan massa bergerak tanpa pengawalan dan pengaturan secara tertib, puluhan orang terluka dan seorang tewas terinjak.
Jadi kenapa bangsa ini tidak pernah mencoba belajar dan memahami peristiwa-peristiwa bencana dari akibat kerumunan massa ini. Kenapa bangsa ini memelihara sikap yang miskin kognitif ini? Secara kolektif bangsa ini seakan melupakan terhadap bencana-bencana kerumunan massa yang pernah terjadi.
Peristiwa Bencana Pendopo Garut ini juga adalah cermin dari ‘kemiskinan dialog kritis’. Kehidupan sosial masyarakat kita saat ini dihantui oleh tekanan-tekanan hidup. Tidak saja tekanan dalam meraih penghasilan, tetapi juga tekanan terhadap kebebasan dalam menyampaikan pendapat.
Menyampaikan pandangan yang benar belum tentu diapresiasi. Apalagi menyampaikan pandangan yang sifatnya mengkritisi atau mengingatkan siapapun masih belum kondusif untuk dilakukan. Jikapun pesan tersampaikan, maka beresiko negatif terhadap pengkritiknya. Kondisi struktur sosial ‘miskin dialog kritis’ seperti inilah pada akhirnya tidak akan berkembang pikiran-pikiran kritis atau kreatif dalam proses pengambilan keputusan di seluruh jenjang kehidupan, baik di birokrasi maupun di kelembagaan masyarakat.
Sebaliknya jika kehidupan sosial kita dipenuhi dengan ‘kekayaan kognitif’ di mana masyarakat kita memiliki kesadaran dan pengetahuan kolektif terhadap berbagai informasi peristiwa, khususnya yang memberikan dampak buruk bagi kehidupannya, maka sikap saling mengingatkan akan tumbuh secara alamiah.
Demikian pula ketika sebuah informasi menjadi milik publik, diketahui dan dipahami secara bersama, maka kepedulian kolektif akan membangun sikap antisipatif jika informasi tersebut memberikan dampak negatif.
Demkian pula ketika struktur sosial kita juga memiliki ‘kekayaan dialog kritis’, bukan menghukum pandangan-pandangan kritis, maka ketika informasi acara pernikahan dengan segala dimensinya akan dikritisi oleh publik sesuai dengan ‘kekayaan kognitif’ yang dimiliki masyarakat. Sesuai pengetahuan dan pemahamannya terhadap ‘acara yang mengundang kerumunan massa’, publik akan memberikan pandangan dan sikapnya sekaligus solusi yang bersifat meminimalisir resiko yang akan terjadi. Sikap dialog kritis ini terjadi karena baik para birokrat, aparat maupun rakyat tidak dalam suasana ‘miskin dialog kritis’ yang ditandai suasana penuh tekanan, jebakan, saling curiga maupun arogansi kekuasaan.
Meski ada sebagian anggota masyarakat, diantaranya HMI Cabang Garut sebelum acara pernikahan diselenggarakan, mengkritisi tempat penyelenggaraannya, tetapi karena ‘miskin dialog kritis’ seakan suara minoritas ini tenggelam dalam hiruk pikuk perhatian mayoritas publik atas persiapan ‘Pesta Rakyat’.
Menjadi tantangan ke depan bahwa suara-suara kritis itu tidak hanya milik kaum minoritas, khususnya organisasi tertentu saja, tetapi ulama-ulama Ahli Ilmu sosial, politik, hukum di samping fiqih dari berbagai kampus di Kabupaten Garut bersuara secara bergelombang menjadi kekuatan mayoritas yang mampu membangun dialog kritis dengan semua stakeholder dalam pengelolaan keamanan dan ketertiban umum.
Institusi pertama yang memiliki tanggungjawab dalam mengeloala keamanan dan ketertiban publik adalah kepolisian. Jika kapasitas kognitif publik mumpuni dan sikap dialog kritis terjaga, maka kepolisian akan menjadi mitra strategis dalam mengantisipasi ancaman atau bahaya dari sebuah acara yang melibatkan ribuan massa.
Mayoritas kita semua ‘lupa’ (miskin kognitif). Kenapa memori kolektif, mengenai peristiwa-peristiwa pilu yang pernah terjadi hingga merenggut nyawa akibat kerumunan massa ini, tidak tersadarkan ketika format acara pernikahan ini sebenarnya ‘mirip’ dengan acara kerumunan masa lalu.
Kalau sudah lupa, jangan berharap kita mampu mengktitisi panitia penyelenggara maupun kepolisian sebagai upaya antisipatif terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan.
Ya Allah ampunilah hambaMu yang penuh lupa dan sekaligus kehilangan daya kritis dalam.menyikapi acara pernikahan pemimpin kami.***
Komentar