Oleh : Igie N. Rukmana, S.Kom | Pimpinan Redaksi Harian Garut News
HARIANGARUTNEWS.COM – Beberapa minggu yang lalu, seorang teman yang berpofesi sebagai Kepala Desa, mengeluh tentang seringnya rombongan “wartawan” menyambangi kantornya dengan dalih adanya dugaan penyalahgunaan anggaran desa. Kehadiran mereka, seperti biasa, dengan gaya menakuti akan memberitakan penyelewengan dana, apabila sang kepala desa tidak mau bekerjasama.
Teman lainnya yang bekerja di salah satu dinas mengaku hampir tiap hari didatangi oleh orang-orang yang membawa setumpuk koran, yang berisi pemberitaan seremonial, yang hendak dia tukarkan dengan sejumlah uang. Seorang teman lainnya, berprofesi sebagai politisi mengeluh karena pemberitaan sejumlah media yang menurutnya tidak jelas.
Teman saya seorang polisi bercerita sambil tertawa tentang perilaku seorang oknum yang mengaku wartawan. Oknum itu menolak ditilang, setelah berkendara tidak menggunakan helm, dengan alasan sedang terburu-buru meliput berita. Teman saya yang polisi itu dituduh mencoba menghalang-halangi pekerja pers dan melanggar Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.
Seorang warga protes karena dia tidak lagi mendapatkan informasi yang benar. Menurutnya, kian mendekati tahun-tahun politik, semakin marak berita tidak jelas, puja- puji tanpa dasar, juga pembusukan yang luar bias tanpa data.
Wartawan Asli Tapi Palsu (Aspal), fenomena di atas merupakan ekstrak dari ragam pengalaman di lapangan. Banyak pihak yang mengaku terganggu dengan kehadiran ragam pewarta di kehidupan mereka. Mulai yang meminta uang dengan membawa koran berisi puja-puji. Mengancam menulis kasus bila tak bisa “upacara adat” atau “gunting pita”, membawa proposal kegiatan kunjungan si wartawan ke luar daerah, juga wartawan yang selalu mengaburkan fakta dengan menulis tanpa cover both side serta gemar menggunakan narasumber anonim.
Kenapa pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan oleh mereka yang mengaku wartawan? Pertama karena ketidaktahuan. Banyak orang yang sekarang menyandang badge wartawan, ternyata tidak mengenal dunia yang dia geluti. Satu-satunya alasan mengapa dia terlibat, karena mudahnya mencari uang.
Coba perhatikan, di daerah-daerah biasanya di situ tumbuh subur praktik jurnalistik “buta huruf”. Ujung-ujungnya mereka yang sedikit “cerdas” dan “tebal muka” akan menyaru menjadi wartawan. Daripada menjadi pengemis kumal, lebih baik menjadi pengemis yang mempunyai ID card. Dan ironisnya lagi, tak jarang ditemukan satu media memberitakan media lainnya.
Ciri-ciri para wartawan “Aspal” diantaranya, membawa banyak kartu pers. Kemudian, suka main gertak atas nama hukum, diantaranya memakai alasan era keterbukaan, atau peraturan dana desa maupun BOS. Justru wartawan profesional yang terkadang lupa dengan kartu pers-nya, karena memang bekerja profesional dan tidak memeras.
Di sisi lain, banyaknya media yang dibangun untuk pencitraan politik, telah pula menyeret mereka yang profesional, menjadi pelaku jurnalistik yang kejam membunuh lawan politik tuannya. Kata-kata “diduga”, “punya hak jawab” menjadi tameng ampuh untuk menikam musuh yang menggaji mereka.
Media-media seperti ini, cenderung tidak fair. Dia tidak akan garang dengan kesalahan sang tuannya. Seberat apapun kesalahan sang tuan, mereka akan masa bodoh.
Lalu apakah masih ada jurnalis dan media yang berada pada jalur yang benar? Tentu saja masih banyak. Jurnalis sejati bekerja sesuai kode etik jurnalistik, berpedoman pada Undang-Undang Pers, menguasai ilmu komunikasi dan ilmu tata bahasa, walau dia bukan sarjana yang linier dengan kedua hal itu. Lalu siapa saja mereka? Pembaca tentu punya kemampuan yang memadai untuk membedakannya. (*)