HARIANGARUTNEWS.COM – Kue Bandros memiliki akar budaya yang begitu dalam, terutama bagi masyarakat yang berasal dari Sunda, Jawa Barat. Nama Bandros sendiri berasal dari kata Bahasa Sunda yang berarti “ditumbuk atau dipukul”, hal ini merujuk pada proses pembuatannya yang melibatkan penumbukan bahan-bahan utama dari adonan kue tersebut.
Salah seorang pedagang keliling kue Bandros yang biasa mangkal di depan gedung DPRD Kabupaten Garut, Amat, warga asal Kampung Cibarugbug RT02/09 Desa Padahurip, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, mengaku dirinya sudah berdagang sejak 2015. Sampai saat ini Amat masih tetap berdagang jajanan tersebut.
Dalam kehidupan yang penuh liku, seorang bapak yang berumur 60 tahun ini berjuang untuk menghidupi keluarganya di Kota Garut. Ia berjualan Bandros setiap harinya tanpa rasa lelah.
Biasanya Amat berangkat dari kontrakannya sekitar pukul 06.00 WIB dengan berjalan kaki melintasi Pamoyanan, Jalan Ibrahim Adjie, Hampor dan berakhir di Jalan Patriot depan Gedung DPRD. Dia berpromosi, kue bandros dagangannya cukup dikenal pelanggannya.
“Angkat ti tabuh 06.00 dugi 10.00 WIB. Mung enjing-enjing hungkul tos teu kiat sapertos tipayun. (Berangkat dari pukul 06.00 sampai 10.00 WIB. Cuma dagang pagi-pagi aja udah gak kuat seperti dulu),” ujar suami dari Eti tersebut, Senin (15/09/2025).
Jika sebelumnya, kenang Amat, dalam satu hari ia mampu menghabiskan adonan Bandros sekitar 4 Kg, sekarang hanya 1 1/2 Kg dengan penghasilan berkisar Rp150.000. Meski dirasa pas-pasan penghasilan tersebut masih dapat mencukupi kebutuhan hidup termasuk mencukupi keperluan anak dan istrinya.

Diakuinya, profesi berjualan Bandros sudah ia geluti sejak 10 tahun silam. Selama itu pula dirinya hanya bergantung pada penghasilan tersebut, terlebih biaya opersional berjualan Bandros dirasa semakin tinggi.
“Saya tidak punya keahlian atau penghasilan lain, sudah 10 tahun ini cuma berjualan Bandros. Dulu sempat jualan es susu. Sekarang harga tepung terigu mencapai Rp17 ribu,” kenang Amat.
Meski hanya meraup keuntungan bersih sekitar Rp50 ribu perhari, ia tak merasa kecewa dan tetap optimis. Ia mengungkapkan, semuanya telah diatur oleh Allah SWT. Manusia hanya bisa berikhtiar dan menikmati kehidupan serta membuat bekal untuk kelak di akhirat nanti, tukasnya.
Dalam kesempatannya, Amat menuturkan, saat ada aksi demonstrasi yang terjadi di depan gedung DPRD, hal tersebut membawa kisah tersendiri bagi ayah dari lima anak ini. Ia mengaku sering kali mendapatkan penghasilan lebih saat jualan di tengah aksi demonstrasi.
“Kalau ada acara bisa meraup omzet sampai Rp300 ribu dapatlah. Kalau nggak ada paling Rp150 ribu, itupun hitungannya kotor,” ungkap Amat.
Ketika ada demo, Amat berdagang bersama dengan kawan-kawan yang menjadi kompetitornya. Namun dia menjelaskan tidak ada koordinasi antar pedagang ketika berjualan sebelum adanya demo hingga selesai. Semua mengalir apa adanya saja.
“Pedagang keliling di sini enggak ada koordinasi sih, masing-masing aja, kalau ngeliat ada demo ya langsung aja. Meski demikian, saya tidak berharap terus-terusan ada demo, saya ingin semuanya berjalan normal, pemerintah dan rakyatnya bisa bergandeng tangan,” pungkas Amat.***





