HARIANGARUTNEWS.COM – Siapa sangka, dari kota berhawa sejuk di kaki Gunung Cikuray, empat mahasiswa Prodi Pariwisata Universitas Garut kini menjalani rutinitas internasional di salah satu hotel mewah Jepang, Grand Prince Hotel Osaka Bay. Bukan sebagai tamu, tapi sebagai bagian dari tim profesional yang siap menyambut tamu-tamu dunia.
Mereka adalah Aldi, Siti Badriah, Rofa, dan Anisa, mahasiswa semester akhir yang tengah menjalani program magang internasional selama 1 tahun di Negeri Sakura. Meski awalnya penuh tantangan, kini keempatnya justru merasa sedang menjalani pengalaman paling berharga dalam hidup.
Belajar Bahasa, Cuci Seprai, dan Sajikan Sushi.
Sebelum menginjakkan kaki di Osaka, mereka harus terlebih dahulu menaklukkan tantangan pertama, bahasa Jepang. Selama 4 bulan penuh, keempat mahasiswa ini mengikuti pelatihan intensif untuk meraih sertifikasi JLPT N4—level dasar tapi cukup untuk mulai bekerja.
“Awalnya susah banget, apalagi huruf-huruf Kanji itu bikin puyeng,” cerita Rofa sambil tertawa dalam rekaman voice note yang dikirim dari Jepang.
Tiba di Grand Prince Hotel, mereka langsung ditempatkan sesuai divisi, Aldi dan Siti Badriah di Housekeeping, sedangkan Rofa dan Anisa di Food and Beverage Service. Hari-hari mereka diisi dengan mengepel koridor hotel bertingkat, menata kamar tamu VIP, hingga menyajikan makanan ala Kaiseki di restoran bintang lima.
“Tiap pagi, saya ngecek linen, bersihin kamar, dan harus cepat tapi tetap presisi. Awalnya deg-degan, tapi sekarang udah kayak ninja,” ujar Aldi sambil mengirim foto selfie di balik troli housekeeping.
Sementara itu, Rofa dan Anisa berjuang di dunia pelayanan restoran, menyapa tamu dengan irasshaimase, menyusun set menu, dan terkadang ikut menjelaskan bahan makanan—dalam bahasa Jepang.
“Yang bikin senang, para senior di hotel baik dan mau ngajarin. Jadi kami nggak ngerasa sendirian,” tambah Anisa.
Tak Hanya Skill, Tapi Mental dan Cultural Shock
Tinggal di luar negeri, jauh dari keluarga dan zona nyaman, jelas bukan hal yang mudah. Mereka harus menghadapi cultural shock, homesick, cuaca dingin, bahkan adaptasi makanan. Tapi justru di situlah pembelajaran terbesar terjadi.
“Saya jadi belajar mandiri banget. Dulu makan tinggal ke dapur, sekarang masak sendiri. Bahkan jadi bisa masak kare Jepang,” ucap Siti sambil mengirimkan foto hasil masakan pertamanya.
Pengalaman bekerja lintas budaya ini secara tidak langsung membentuk soft skill yang tak bisa diajarkan di ruang kelas: komunikasi lintas budaya, etos kerja Jepang yang disiplin, hingga menghargai waktu dan detail.
Pulang Bawa Sertifikat dan Percaya Diri
Setelah masa magang selesai, keempat mahasiswa tidak hanya pulang dengan koper penuh oleh-oleh, tetapi juga membawa sertifikat kompetensi kerja dan sertifikasi bahasa dari Jepang—modal berharga untuk karier di industri pariwisata global.
“Setelah ini, saya ingin kerja di cruise ship atau hotel internasional. Pengalaman ini beneran membuka mata dan memperluas mimpi saya,” ujar Rofa.
Kampus Bangga, Orang Tua Terharu
Program magang internasional ini menjadi salah satu kebanggaan Program Studi Pariwisata UNIGA. Dosen pembimbing mengaku sangat terharu melihat perkembangan mahasiswa bimbingannya.
“Mereka bukan hanya belajar di lapangan, tapi juga jadi duta kampus dan budaya Indonesia. Ini jadi contoh nyata bahwa anak Garut juga bisa go internasional,” ujar Dani Adiatma, dosen pembimbing program ini.
Catatan Akhir
Cerita Aldi, Siti, Rofa, dan Anisa bukan sekadar kisah magang di luar negeri. Ini tentang keberanian keluar dari zona nyaman, tentang belajar mencintai proses, dan tentang bagaimana dunia kerja bisa menjadi tempat tumbuh yang luar biasa. Jadi, buat kamu yang masih ragu kuliah di pariwisata, siapa tahu Osaka jadi tempat magang kamu berikutnya?***
Komentar