HARIANGARUTNEWS.COM – Siang itu, suasana rindang Desa Wisata D’Leuwi berubah jadi ruang kelas terbuka. Suara gemericik sungai, semilir angin bambu, dan canda tawa mahasiswa menjadi latar pelatihan pemasaran digital yang tak biasa. Inilah cara unik Program Studi S1 Pariwisata Universitas Garut (UNIGA) dalam mengabdi lewat kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM).
Bertajuk “Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemasaran Digital dan Green Tourism untuk Meningkatkan Ekonomi Desa Wisata D’Leuwi”, kegiatan ini berlangsung sejak Februari hingga Juni 2025. Tidak sekadar memberi pelatihan, tim dosen dan mahasiswa UNIGA juga turun langsung mendampingi warga D’Leuwi mengenal dunia digital dan sadar lingkungan.
Belajar Sambil Duduk di Atas Rumput
Bukan di ruang seminar ber-AC, pelatihan dilakukan di saung bambu beratap ijuk. Mahasiswa dan masyarakat duduk lesehan dengan laptop, handphone, dan buku catatan di depan mereka. Materi? Mulai dari cara bikin konten IG, cara menyusun paket wisata, sampai menyapa tamu ala hotel bintang lima.
“Kita ingin suasana belajar yang membumi. Warga belajar langsung di tempat mereka beraktivitas. Itu membuat transfer ilmunya lebih hidup,” ujar Ghaida Farisya, dosen pengampu materi digital marketing.
Dari Sosial Media sampai Tempat Sampah Terpilah
Salah satu output paling membanggakan dari program ini adalah lahirnya platform digital untuk Desa D’Leuwi. Website dan akun media sosial resmi telah dibuat dan kini aktif mengunggah konten-konten promosi.
Tak hanya itu, tim PKM juga membuat tempat sampah terpilah yang disumbangkan dan dipasang di area publik desa. Satu per satu mahasiswa ikut mengangkat, warga membantu menanam tiang-tiang penyangga, dan tidak sedikit anak-anak yang bertanya dengan polos, “Ini buat apa, Kak?”
“Kami ingin wisata di D’Leuwi bukan hanya asyik, tapi juga ramah lingkungan,” kata Dani Adiatma, ketua tim PKM.
Bukan Sekadar Mengajar, Tapi Juga Mendengar
Program ini benar-benar terasa sebagai kegiatan kolaboratif. Para dosen bukan hanya menyampaikan materi, tapi juga mendengar kebutuhan warga — dari soal promosi yang belum maksimal, hingga bagaimana wisatawan kadang meninggalkan sampah sembarangan.
“Warga punya semangat besar, tapi kadang belum tahu harus mulai dari mana. Di sinilah kami hadir, bukan untuk menggurui, tapi membantu merapikan langkah,” ungkap Stanny Dhamayanty, dosen ahli perjalanan.
Dampak yang Mulai Terasa
Kini, akun Instagram @d_leuwi mulai aktif dan diikuti ratusan akun baru. Wisatawan mulai menemukan lokasi melalui Google Maps. Bahkan sudah mulai ada reservasi masuk melalui WhatsApp.
“Kami jadi tahu cara bikin postingan yang menarik. Dulu fotonya blur semua, sekarang udah pakai caption dan tag lokasi,” ujar Rina, warga yang aktif mengelola warung di desa.
Suara dari Lapangan
Di sela kegiatan, tampak dosen muda, Deden Firman, membimbing warga dalam simulasi pelayanan wisata. Ada juga mahasiswa yang mewawancarai warga sambil menyeruput kopi. Di sisi lain, dosen dan warga berbincang soal peluang kolaborasi ke depan.
Tak hanya pelatihan, 50 lebih konten promosi digital telah diproduksi, website desa sudah aktif, dan 6 unit tempat sampah terpilah telah tersebar di titik strategis.
Catatan Akhir
Apa yang dilakukan Prodi Pariwisata UNIGA ini bukan sekadar memenuhi kewajiban tridarma perguruan tinggi. Ini adalah bukti bahwa wisata dan digitalisasi bisa menjadi pintu masuk pemberdayaan masyarakat. Dan bahwa perubahan, sekecil apa pun, bisa dimulai dari sebuah desa di pinggir sungai, dari sekelompok mahasiswa, dan dari satu postingan Instagram.
“Semoga D’Leuwi bisa jadi contoh desa wisata digital yang lestari dan mandiri. Kita ingin wisata yang bukan hanya ramai, tapi juga ramah,” tutup Dani Adiatma sambil tersenyum.
Komentar