Oleh : Salma Siti Ningrum, SH.
HARIANGARUTNEWS.COM -Sensitivitas orang ketika mendengar kalimat “Kekerasan Seksual” saat ini begitu tinggi dan cukup mengundang emosi. Bagaimana tidak? Jika dahulu kekerasan seksual ini terjadi di kalangan minoritas, dan ternyata dengan semakin “gila” nya jaman, sekarang bisa terjadi di kalangan atau lingkungan yang membuat kita menggelengkan kepala wujud tidak percaya.
Komnas Perempuan telah merillis data Catahu 2024 yang menunjukan bahwa kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebagai kasus yang paling banyak dilaporkan selama tahun 2024. Bohong jika kita bicara bahwa dunia perempuan di negeri ini sedang baik-baik saja sementara kekerasan seksual terjadi di lingkup yang luas. Lingkungan pendidikan yang seharusnya bisa “mendidik” dan mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata menjadi santapan empuk bagi oknum yang tidak bertanggung jawab.
Lingkungan kesehatan yang kita tahu adalah tempat yang begitu banyak orang tulus dan mengabdi demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, ternyata menjadi kolam kesempatan bagi oknum yang tidak bertanggung jawab. Bahkan ketika korban kekerasan seksual ini berlari meminta perlindungan atau pendampingan dari aparat pemerintah, lagi-lagi mereka harus bertarung terlebih dahulu dengan kepercayaan/ trust kepada aparat. Mengapa? Karena tidak sedikit kasus kekerasan seksual ini dilakukan oleh oknum aparat.
Jika ketiga scope diatas sebagai sektor vital saja sudah terkena noda kekerasan seksual, maka tentu saja perhatian publik semakin tinggi terhadap fenomena kekerasan seksual yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau sering disebut UU TPKS telah mengatur apa saja yang tergolong dalam kekerasan seksual. Yaitu terdiri dari pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non-fisik, perbuatan cabul, dan lain sebagainya.
Selain ancaman pidana, UU TPKS juga mengatur perlindungan saksi dan korban serta proses peradilan yang akan ditempuh dalam hal pelaporan kasus TPKS yang terjadi di Indonesia. Terbit dan disahkan di Tahun 2022, UU TPKS ini tetap harus menjadi acuan dan dasar bagi seluruh stakeholder dan lapisan masyarakat dengan peran masing-masing dalam menjawab trend kasus kekerasan seksual.
Jika UU TPKS berbicara upaya penanganan secara represif, maka yang tidak kalah penting adalah upaya penanganan secara preventif yang harus berjalan dan bukan formalitas belaka. Terutama upaya untuk tetap memberikan rasa aman kepada perempuan ditengah ketidaktenangan dan riuhnya ancaman kekerasan seksual.
Perempuan yang memang dengan fitrah nya untuk senantiasa dilindungi, maka ketika perempuan ini menjadi korban kekerasan seksual mereka akan menunggu untuk mendapatkan “perlindungan ekstra”. Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah selain bantuan hukum, mereka membutuhkan hak nya atas rasa aman minimal di lingkungan terdekat.
Tidak bisa dipungkiri, dalam konteks memberikan rasa aman ini, perlu dukungan penuh dari sesama perempuan atau istilahnya woman support woman. Jaminan rasa aman terhadap perempuan akan menjadi tantangan tersendiri, karena berbicara dalam 2 konteks yakni represif dan preventif. Dalam hal represif, rasa aman dibutuhkan sebagai bentuk upaya pemulihan korban secara psikologis dari minimal lingkungan terdekat yang setidaknya akan membantu korban pulih dari trauma.
Sedangkan secara preventif, rasa aman akan menjadi upaya yang terus berkelanjutan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan stakeholder dengan harapan bisa menekan & meminimalisir kekerasan seksual. Rasa aman yang diberikan kepada perempuan akan menjadi power tersendiri minimal bagi perempuan tersebut untuk memupuk keberanian dalam menyuarakan anti kekerasan seksual.
Jaminan rasa aman bagi perempuan harus bisa terpolakan dengan baik terutama oleh stakeholder terkait guna tepat sasaran, adaptif dan terukur dampaknya dalam rangka memastikan ketidakberulangan kekerasan seksual.
Kedudukan UU TPKS sebagai salah satu landasan normatif dalam penanganan darurat kekerasan seksual di negeri ini, melalui kolaborasi efektif dengan stakeholder strategis harus bisa tersampaikan esensi dan pemahaman substansial dari regulasi tersebut kepada seluruh elemen dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, masyarakat membutuhkan edukasi, akademisi membutuhkan dukungan, dan media pers perlu memverifikasi data fakta untuk selanjutnya “diangkat” ke publik secara masif serta memastikan ruang bagi perempuan lebih terbuka lebar. Terlebih lagi ketika penanganan represif terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual ini dihukum sesuai dengan aturan yang semestinya tanpa ada pengecualian atas dasar faktor apapun, hal tersebut setidaknya akan meningkatkan trust dari masyarakat dalam penanganan TPKS yang serius.
Pada intinya, dalam pandangan hukum keberadaan UU TPKS sebagai unsur subtansi hukum dalam penegakan hukum harus berlanjut pada kokohnya struktur hukum yang akan menjalankan perintah UU tersebut. Substansi dan struktur hukum yang sudah cukup baik pun tidak akan optimal jika tidak didukung budaya (culture) yang satu visi atau satu kebiasaan dalam memerangi darurat kekerasan seksual di negeri ini, bukan untuk memperluas kesempatan oknum tidak bertanggung jawab menjadi predator baru dalam kejahatan seksual.
Untuk menjangkau lebih luas terkait edukasi & wawasan mengenai pentingnya menekan peluang menjadi korban kekerasan seksual, maka sangat diperlukan pendekatan yang inklusif. Bukan selalu formalitas belaka lalu berakhir menjadi wacana di meja audiensi, tetapi yang dibutuhkan saat ini adalah aksi. Dibutuhkan ruang-ruang suara yang lebih terbuka lebar, untuk disuarakan oleh orang-orang tulus, “berisi”, dan berintegritas. Yang menyayangi negeri ini sepenuh hati, peduli terhadap ancaman terhadap perempuan yang saat ini sudah di depan mata.***