HARIANGARUTNEWS.COM – Ditengah riuh suasana mudik dan euforia Idul Fitri 1446 H, masyarakat Garut disuguhi imbauan yang terdengar luhur namun absurd : “Jangan beri uang kepada tukang parkir liar.”
Pernyataan ini dilontarkan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kabupaten Garut, Satria Budi, pada Jumat 11 April 2025, di Kompleks Setda Garut. Ia mengakui maraknya juru parkir liar di kawasan perkotaan Garut selama musim lebaran, namun meminta masyarakat untuk tidak memberikan uang karena praktik tersebut dianggap sebagai pungutan liar (pungli). Bahkan ia menyebut bahwa hanya ada 250 petugas parkir resmi yang mengenakan seragam batik oranye dan memiliki surat tugas.
Pernyataan ini, walau dikemas seolah sebagai seruan moral, justru terdengar seperti bentuk cuci tangan administratif atas kekacauan yang dibiarkan bertahun-tahun tumbuh liar di ruang publik kita. Sejatinya, parkir liar bukan sekadar perkara retribusi tak resmi. Ia adalah manifestasi dari disfungsi institusional (kegagalan kelembagaan untuk menjalankan fungsinya secara efektif) dan neglected urban governance (pengabaian tata kelola kota oleh otoritas yang seharusnya hadir).
Dalam praktiknya, yang dihadapi masyarakat bukan sekadar petugas tak berseragam, melainkan figur-figur intimidatif yang siap memaki, mengancam, bahkan merusak kendaraan ketika uang tak disodorkan.
Pertanyaannya apakah benar satu-satunya solusi negara adalah menyuruh rakyat “jangan bayar” tanpa perlindungan nyata? Jika demikian, negara sedang mempraktikkan teori state minimalism (negara seminimal mungkin dalam campur tangan urusan publik) versi ekstrem, cukup hadir dalam bentuk seruan, lalu lenyap ketika kenyataan menuntut tindakan.
Dishub memang menyebut telah memiliki 250 petugas parkir resmi, lengkap dengan seragam batik oranye dan surat tugas. Namun di lapangan, angka itu tak ubahnya statistik manis di kertas, tidak hadir sebagai operational capacity (kapasitas operasional nyata) yang bisa melindungi warga. Sisanya? Liar. Tidak terlatih. Tidak terdata. Tidak terawasi. Dan ironisnya, jauh lebih mendominasi ruang publik ketimbang yang resmi.
Alih-alih membangun sistem yang responsif dan inklusif, pemerintah justru menyerah pada keadaan. Bukankah lebih masuk akal jika parkir liar ini ditata dan diformalkan? Mereka yang hari ini disebut liar dapat dididik, diberi pelatihan, dilengkapi atribut resmi, dan dimasukkan ke dalam sistem retribusi daerah. Selain menaikkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), ini juga akan mengurangi potensi konflik sosial yang hari ini dibiarkan merajalela.
Tentu saja, itu butuh political will (kemauan politik). Dan seperti yang kita tahu, dalam banyak kebijakan daerah, political will kerap kali tersesat dalam lorong birokrasi atau dikubur dibalik kalimat klasik ‘Sedang dikoordinasikan dengan pihak terkait’. Dan sementara koordinasi itu tak kunjung tiba, masyarakat tetap menjadi tameng utama menghadapi pungli jalanan. Warga yang menolak bayar bisa diintimidasi, bahkan diserang, tanpa kehadiran negara. Jika terjadi keributan, siapa yang bertanggung jawab ?. Mungkinkah rakyat dituntut untuk berani, sekaligus diminta bijak, tanpa perlindungan dari otoritas?
Dalam literatur public policy (kebijakan publik), situasi ini disebut sebagai policy dissonance (ketidakselarasan antara kebijakan dan implementasi) ketika instruksi pemerintah tidak sejalan dengan kapasitas implementasi. Dan di level praksis, itu disebut lelucon yang pahit: negara menyuruh kita patuh, tapi absen ketika kita dipukul.
Jika pemerintah serius, maka tugasnya bukan hanya menyarankan warga untuk tidak membayar parkir liar. Tugas negara adalah menghapuskan pungli itu dari jalanan. Bukan sekadar membisikkan idealisme dari balik meja, tapi hadir nyata di titik-titik kerawanan sosial yang sudah terlalu lama jadi rahasia umum.
Kalau negara hanya menyuruh rakyat “jangan bayar”, tanpa menghadirkan solusi struktural dan jaminan perlindungan, maka sesungguhnya negara itu sedang mundur. Dan yang tersisa hanyalah rakyat yang terus-menerus membayar, entah dalam bentuk uang, amarah, atau rasa putus asa.
**Penulis adalah Pengamat Kebijakan dan Informasi Strategis, Pusat Analisa Kebijakan dan Informasi Strategis (PAKIS)