“Politik uang yang membahayakan ini mendasari pemuatan tentang larangan dan sanksi politik uang dalam UU Pemilu, termasuk UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam Pilkada Garut, politik uang diduga dilakukan oleh tim sukses atau simpatisan pasangan calon. Dilihat dari berita, gambar dan video yang telah tersebar, politik pragmatis tersebut berbentuk pembagian beras beserta selebaran ajakan untuk memilih calon tertentu,” kata dia, Minggu (10/11/2024).
Menurut Rawink, besar kemungkinan cara ilegal tersebut dilakukan karena pertarungan semakin sengit dan kian dekatnya momen pemungutan suara. Terlebih, prediksi selisih suara antara dua pasang calon Bupati dan Wakil Bupati Garut di Pilkada Garut ini saling klaim. Tentu saja, imbuhnya, politik uang bukan hanya dari sakunya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
“Cara instan yang diterapkan ini, merusak integritas pasangan calon, Pilkada, dan proses demokratisasi di Garut. Bawaslu harus mengambil langkah tegas dalam upaya pencegahan terhadap praktik tersebut saat masa kampanye berlangsung. Kami yakin baik KPU, Bawaslu Garut dan Gakkumdu sudah tahu soal distribusi beras, kita tunggu sejauh mana keberanian mereka mengusut kasus kejahatan politik ini, ” kata Rawink.
Karena itu, Rawink mengatakan, Bawaslu Kabupaten Garut harus terus memproses dengan cepat kejahatan yang terjadi dalam Pilkada Garut 2024 ini. Hal ini diperlukan demi terwujudnya Pilkada yang berintegrtias dan ada efek jera bagi pelaku politik uang, siapapun pelaku intelektualnya.
“Karena praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye. Setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi,” tandas Rawink. (*)