Catatan Redaksi : Fenomena Agustusan, Generasi Penikmat Kemerdekaan Semestinya Mewarisi Sikap Para Pejuang Bukan Menengadah di Jalanan

FOKUS1,743 views

Oleh : Igie N. Rukmana, S.Kom | Pimpinan Redaksi Harian Garut News

HARIANGARUTNEWS.COM – Meminta-minta adalah perbuatan rendah. Bahkan konon para pendiri bangsa ini menolak hadiah kemerdekaan dari negara penjajah karena ingin memperolehnya dengan hasil perjuangan sendiri. Kini generasi penikmat kemerdekaan semestinya mewarisi sikap para pejuang yang memiliki harga diri tinggi, bukan meminta-minta sumbangan di jalanan untuk merayakan agustusan.

Bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan, momen ketika segenap masyarakat Indonesia merayakan kemerdekaan RI dengan suka-cita dan kegembiraan yang diwarnai berbagai kegiatan seru dan meriah. Institusi pemerintah, lembaga swasta, perusahaan, dan warga masyarakat berjibaku mempersiapkan perayaan dengan ragam kreasi acara dan kegiatan perlombaan, selain tentunya upacara peringatan Hari Kemerdekaan sebagai intinya.

Fenomena di Indonesia, ketika memasuki bulan Agustus adalah mulai menjamurnya warga masyarakat yang meminta-minta sumbangan di beberapa ruas jalan. Tak jarang mereka melakukannya dengan memakai kostum, dandanan unik atau hanya sekedar berjoget mengikuti alunan musik yang diputar dengan volume cukup keras.

Mungkin sedikitnya menghibur pengguna jalan, namun tidakkah akan membuat kemacetan atau bahkan membahayakan mereka sendiri karena tak jarang pengguna jalan melemparkan sumbangannya ketika kendaraannya melaju.

Pemandangan inilah yang hampir terlihat setiap hari sepanjang bulan Agustus di berbagai ruas jalan. Saking tidak mau melewatkan hari, tak jarang mereka memberlakukan piket atau bagian jaga. Mirisnya kegiatan ini, tidak saja melibatkan orang dewasa, remaja bahkan juga anak-anak kecil yang sebenarnya mereka tidak tahu maksud dari kegiatan tersebut.

Ya, mereka meminta sumbangan di jalan raya semata-mata untuk persiapan peringatan HUT RI. Memang fenomena tersebut tak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat Indonesia yang bercorak komunal yang tentu saja berdampak positif dan negatif.

Positifnya, budaya gotong royong dan saling membantu secara beramai-ramai tanpa menuntut imbalan untuk merayakan peringatan HUT RI. Negatifnya, meminta sumbangan rutin di Agustus ini dapat membentuk mental pengemis.

Apakah tidak ada cara yang lebih bermartabat dibandingkan harus meminta-minta atau “mengemis”? Kenapa tidak menggalang dana peringatan HUT RI dengan cara lain, seperti pengadaan bazar, penggunaan dana kas atau mungkin pencarian sponsor atau mungkin dengan cara lainnya yang lebih elegan.

Sayangnya, di kalangan masyarakat kegiatan ini menjadi suatu hal yang lumrah ketika persiapan perayaan HUT RI menjadi ajang “mengemis” sumbangan di jalan-jalan raya. Padahal, dua tahun lalu pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-77 Kemerdekaan RI, Presiden Joko Widodo menekankan komitmen kerja keras, inovasi, dan kreativitas untuk mencapai agenda besar Indonesia Maju.

Tampak di Jalan Wanaraja – Garut warga menunggu sumbangan dari pengendara yang melintas, Senin (05/08/2024).

Namun, di tahun ini generasi muda masih belum menggunakan kreativitasnya untuk biaya peringatan HUT RI. Bukan termasuk kreativitas, jika “mengemis” masih dilakukan sebagai aksi meminta-minta sumbangan di jalan raya untuk peringatan HUT RI.

Padahal peringatan HUT RI adalah hari dimana merayakan kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dan hal ini harusnya menjadi sebuah capaian yang membanggakan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi jelas bahwa kemerdekaan menjadi hal yang membanggakan untuk dirayakan dan tentunya dengan cara mengumpulkan dana dengan ide kreatif sesuai versi anak muda. Tak sadarkah bahwa apa yang mereka lakukan memiliki dampak negatif.

Jika ditelaah dari sisi psikologis, mental pengemis seringkali memicu masalah karena gemar meminta-minta adalah faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Buktinya, banyak orang yang hidupnya sederhana bahkan susah, namun tidak meminta-minta. Sebaliknya, banyak juga orang yang mampu bahkan dengan kekayaan melimpah malah gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara.

Dampak negatif lainnya, terlebih ketika melibatkan anak-anak dalam kegiatan penggalangan dana peringatan HUT RI adalah kemungkinan besar dapat secara perlahan merusak mental generasi bangsa.

Seperti yang diketahui bahwa anak adalah peniru yang ulung, jadi tidak menutup kemungkinan jika kelak mereka dihadapkan pada situasi yang sama, misalnya “membutuhkan dana” maka mereka akan turun ke jalan dan melakukan hal serupa.

Semakin diperparah ketika mereka membenarkan atau mewajarkan tindakan “mengemis” ini, hingga bahkan menghilangkan esensi dari perayaan kemerdekaan yang sebenarnya diperoleh secara susah payah oleh para pejuang. Semakin membahayakan ketika mereka sudah terbiasa melakukan hal tersebut, karena hal yang berkaitan dengan pola pikir dan kebiasaan perlu waktu untuk mengubahnya.

Jika para pejuang kemerdekaan saat ini masih hidup dan menyaksikan pemandangan seperti itu, barangkali mereka akan merasa pilu. Jerih payah dan cucuran darah untuk memperjuangkan kemerdekaan, rupanya di kemudian hari hanya akan dirayakan dengan cara murahan.

Mewarisi semangat juang para pahlawan, pengumpulan biaya untuk memperingati Hari Kemerdekaan semestinya dilakukan dengan jalan bermartabat, bukan mengemis di jalan. Tak dimungkiri bahwa setiap kegiatan sudah pasti membutuhkan biaya, tapi dengan cara bagaimana dana itu diperoleh dan dikumpulkan turut mengindikasikan seperti apa mental juang penyelenggara. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *