Catatan Redaksi : Perang Baliho, Komunikasi Politik Jalanan dan Medan Tempur Penuh Rayuan

FOKUS2,350 views

Oleh : Igie N. Rukmana, S.Kom | Pimpinan Redaksi Harian Garut News

HARIANGARUTNEWS.COM – Di seluruh daerah di Indonesia, akhir-akhir ini terlihat banyak baliho dan bendera partai dengan slogan yang berusaha menarik simpati publik menjelang Pemilu 14 Februari 2024. Semua Capres dan Caleg dengan senyum yang mengembang lebar dilengkapi dengan janji-janji manis penuh di setiap tempat, lokasi, dan gedung yang terletak dengan tepat Seolah-olah mereka adalah para pejuang aspirasi masyarakat bersama dengan partai yang mengusungnya.

Ya, hari-hari ini kita seperti dikepung baliho Calon Presiden (Capres) dan Calon Legeslatif (Caleg). Kemana-mana menemui baliho Capres dan Caleg, tersebar masif dihampir setiap sudut kota dan perkampungan. Baliho yang ada sepertinya, memberi pesan politis, pilihlah “AKU”. Foto-foto senyum tulus atau dipaksakan telah gencar memborbadir kita dengan baliho.

Hampir merata disemua partai gencar memasang gambar menuju 14 Februari 2024. Entah mengapa para Capres dan Caleg hampir seluruhnya berlomba memasang baliho. Apakah pemasangan baliho ini dianggap sesuatu yang efektif ? Atau akhirnya hanya jadi sapaan sunyi di pinggir jalan. Atau malah membuat kita menjadi bosan, karena senyum mereka tanpa “rasa”.

Baliho yang tumbuh subur di pinggir jalan, seperti benih yang bersemaian karena curah hujan yang tinggi. Bukan hanya dipinggir jalanan ramai, tempat publik seperti pasar tak luput dari gambar Capres dan Caleg. Seperti jamur, baliho berbiak hingga jalanan gang di pelosok kampung. Baliho sebagai simbol atau tanda dan bahasa politis disebut sebagai simulakra politik yaitu suatu keadaan yang sedang berlangsungnya simbiosis strategi politik dan teknologi pencitraan yang didalamnya citra tentang tokoh dan partai dikemas dalam rangka mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran dan opini publik sehingga mereka calon pemilih dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.

Semua ingin menciptakan pemandangan baru yang memuat verbal pesan “Pilih Aku”, nampak kegenitan dari foto caleg di jalanan. Bujuk rayu dengan sejumlah citra diri jadi tema kampanye terselubung. Menjadikan setipis ari perbedaan antara tulus atau “ada mau”-nya. Jika disimak dari pose mereka, rata-rata tanpa dosa, entah yang incumbent, terlebih-lebih yang baru pentas.

Baliho Capres dan Caleg seakan hari-hari ini mengusik  hiruk-pikuk iklan komersil. Batang pohon, tiang listrik, tembok rumah, dan gawang reklame tiba-tiba dipenuhi kesemrawutan baru “dagangan” politik, seakan menggantikan keteduhan pohon-pohon pinggir jalan dengan kegerahan yang warna-warni konsestan Pemilu.

Kemeriahan citra visual pesta rebutan kursi presiden dan parlemen tiba-tiba menjadi melodrama yang mengusik panggung jalanan. Inilah dunia citra yang hendak dibangun  para kandidat dengan penuh sapaan, warna-warni rona, namun binal dan latah tak terasa muncul disana. Inilah medan tempur penuh seruan, ajakan, teriakan, permohonan, dengan baju, simbolisme wajah klimis tanpa jerawat permakan fotoshop, menjadikan alat manipulasi wajah sesungguhnya para Capres dan Caleg.

Ya, inilah perang baliho antar Capres dan Caleg, sebagaimana perang bendera partai. Ini bukan sekadar perang merayu calon untuk merebut suara menuju perang sesungguhnya perebutan suara di bilik pada hari H Pemilu nanti. Ini adalah perang gengsi para kandidat. Sepertinya lewat perang baliho di pinggir jalan, mereka tengah bersaing membuat citra visual yang megah atau sekedar unjuk kekuatan yang bisa dilihat dari jumlah, ukuran, posisi serta penampilan fotografi baliho Capres dan Caleg.

Baliho akhirnya menjadi bahasa sandi, sebelum kemenangan suara yang bisa dilihat dari hasil bilik suara, karena sebelum pemungutan dan penghitungan suara, saatnya untuk mencari kemenangan gengsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *