Darpan : Ketika Bahasa Daerah Dinistakan dalam Komunikasi Politik

FOKUS634 views

Penulis adalah Ketua Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS)

HARIANGARUTNEWS.COM – Dalam dua pekan ini, hati saya terharu biru. Sebagai orang yang sehari-hari bergelut dengan persoalan-persoalan kebahasaan, terutama bahasa daerah, kabar tentang seseorang yang menista bahasa tak terelakan menghantam kepala. Keharubiruan itu menjadi lebih beriak ketika dalam waktu bersamaan saya juga mendengar berita-berita baik tentang pemuliaan bahasa, terutama terhadap bahasa daerah.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk memanas-manasi situasi yang memang sudah mendidih. Tulisan ini justru ingin mengajak kita untuk berefleksi. Kejadian yang berlangsung hari-hari belakangan ini sangat berharga buat kita renungkan sebagai orang Sunda khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Kita sejatinya memiliki pondasi perundang-undangan yang kokoh tentang kebahasaan. Mulai dari konstitusi, hingga peraturan perundang-undangan turunannya. Kita punya undang-undang yang secara rinci mengatur bahasa, yang kemudian didedahkan dalam peraturan pemerintah. Pembinaan dan penggunaan bahasa juga diatur dalam serangkaian aturan yang mengurus dunia pendidikan. Bahkan di Jawa Barat, pemerintah daerah merasa perlu untuk membuat sebuah peraturan daerah tentang bahasa.

Ruh dari semua regulasi kebahasaan itu, hemat saya tergambar dalam jargon Badan Bahasa: “Utamakan bahasa Indonesia, lestraikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. Walaupun diperlukan penjelasan rinci terkait peran bahasa-bahasa tersebut, namun itulah rumusan yang paling sederhana dari regulasi kebahasaan di negara kita. Di sana juga ada peran negara dan rakyatnya, agar ketiga elemen bahasa itu harus seiring sejalan tanpa harus menegasikan.

Oleh karena itu, ketika Arteria Dahlan kemudian mengusik persoalan digunakannya sebuah bahasa dalam komunikasi politik tanpa memperhatikan ruh regulasi itu, resikonya akan sangat besar. Sialnya, hal itu justru dilakukan di sebuah institusi negara yang tugasnya antara lain menjaga marwah konstitusi. Reaksi piblik yang muncul dan masif bisa jadi dipicu oleh sentimen-sentimen permukaan, sementara persoalan substansif dari kasus ini perlu ditelusuri lebih jauh.

Hal yang paling mendasar untuk dijadikan renungan terletak pada kesadaran kita memperlakukan bahasa. Artaria yang mempersoalkan penggunaan bahasa daerah itu pun punya masalah berkaitan dengan kesadaran ini. Demikian juga publik yang mengecamnya. Walaupun ada sebab akibat yang memicu dan membuat kasus ini dipergunjingkan, namun kalau mau jujur, kesadaran kita sebagai bangsa dalam memperlakukan bahasa sering kali keluar dari ruh regulasinya.

Sebagai contoh, usaha pengutamaan bahasa Indonesia sering dirusak oleh libido penggunaan bahasa asing yang kurang perlu bahkan merendahkan martabat bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Celakanya, libido itu di antaranya berasal dari pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah. Istilah atau kalimat bahasa asing, yang sudah dicari padanannya, atau dibentuk peristilahannya, atau sangat mungkin untuk di-Indonesiakan, dibiarkan menjadi polusi di ruang-ruang publik. Nama kompleks perumahan, tempat wisata, iklan produk, istilah transportasi, aplikasi digital, dan sebagainya yang menggunakan istilah asing luas bertebaran.

Nasib bahasa daerah lebih parah lagi. Badan bahasa sempat merilis kabar bahwa setiap sepuluh tahun penutur bahasa Sunda berkurang sekitar dua juta orang. Ini berbanding terbalik dengan jumlah populasi di Jabar, provinsi penutur bahasa Sunda, yang terus menanjak. Tahun 2018, Badan Bahasa juga mencatat dalam beberapa dekade ada 11 bahasa daerah yang mati dan 25 di antaranya terancam punah. Sungguh gambaran yang sangat suram. Dari 718 bahasa daerah yang kini tercatat hidup di Nusantara, sebagian mati segan hidup tak mau.

Kabar baiknya, saat sebuah bahasa daerah dinistakan dalam sebuah komunikasi politik, publik justru bereaksi. Artinya masih ada rasa memiliki di benak mereka yang kemudian mendorong kemarahan saat bahasa etnisnya dipersoalkan. Bahkan jika melihat rekasi piblik yang begitu masif, tergambar bahwa pertama-tama mereka tersinggung kerena unsur etnisitasnya. Tetapi apakah kemudian mereka yang menghujat Arteria penutur bahasa Sunda aktif atau justru tak lagi menggunakan bahasa daerahnya, perlu diselidiki lebih jauh.

Namun demikian tak bisa dipungkiri jika bahasa Sunda adalah bahasa yang masih relatif bugar. Buku-buku berbahasa Sunda masih diterbitkan. Bahasa Sunda masih dituturkan atau ditulis dalam media sosial. Komunitas-komunitas yang mengusung pentingnya bahasa Sunda digunakan masih bergerak dan mendapat tanggapan. Mata pelajaran bahasa Sunda masih tercantum dalam kurikulum sekolah dan diajarkan.

Kabar terakhir, ada sineas yang berusaha memuliakan bahasa daerah dengan membuat film-film bioskop atau film panjang dalam bahasa etnis. Film “Yuni” dan “Nana”, misalnya. Kedua film yang telah dan akan rilis itu bahkan diganjar penghargaan internasional.
Situasi ini saya kira akan terus berlangsung untuk jangka waktu yang lama. Masalahnya, kecenderungannya akan naik atau justru terus menurun? Maka, bangkitnya kesadaran orang Sunda akan keberadaan entitasnya, akan keberadaan bahasanya, walaupun kemunculannya harus dipicu lebih dulu oleh sebuah peristiwa penistaan, adalah momentum untuk membangkitkan kesadaran terhadap pentingnya ruh regulasi bahasa.

Lebih jauh, masyarakat jadi sadar bahwa bahasa adalah penanda jati diri. Bahasa adalah pendedah kekayaan budaya kita dan karenannya menjadi bagian dari kebudayaan nasional Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *