Hendro Sugiarto : Antara Lombok dan Tiktok

Oleh : Hendro Sugiarto, SE., M.MKMT

Satu pekan ini, lini masa di media sosial saya selalu diramaikan denga isi berita yang bertajug antara “Lombok dan Tiktok”. Sedikit menggelitik sebuah berita yang mengabarkan saat Pak Bupati pada hari senin dilapangan setda Kabupaten Garut, beliau mengatakan bahwa “Habiskan saja anggaran, mau ke Lombok, Bali, ataupun jogja, yang penting jangan tiktokan. Kalau saya yang tiktokan dihujat juga ga penting.”

Dari paparan diatas, ada tiga hal yang ingin saya sampaikan, sebagain bahan kajian dam evaluasi untuk Pemerintah Kabupaten Garut.

Pertama, Challenge bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, menjelang tahun depan dan tahun-tahun seterusnya bagaimana upaya inovasi dalam hal peningkatan kapasitas aparatur, dan perencanaan daerah menjadi PR Pak Bupati. Jika kita membaca penggalan apa yang disampaikan pak bupati, harusnya dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut terkait serapan anggaran yang rendah, bukan menanggapi atau mencoba mencari pembenaran atas kejadian saat ke Lombok dengan dalil “menghabiskan anggaran”.

Jika melihat dari sebuah data yang saya terima sampai dengan akhir oktober 2021 kemarin, serapan anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Garut tercatat masih sekitar 65%, atau masih ada sekitar satu trilyun lebih anggaran belanja yang mesti di belanjakan sampai bulan desember mendatang. Paparan beliau terkesan reaksioner, karena Sebagian warga Garut mengkritisi apa yang telah dilakukannhya, padahal dalam kacamata kebijakan public, sebuah kebijakan harus bersandar kepada evidence based policy bukan reaction based policy.

Fenomena serapan yang rendah, dan dikebut menjelang akhir tahun, memang tidak hanya dialami di Kabupaten Garut, melainkan masih banyak daerah yang mengalami fenomena tersebut, dan seolah-olah menjadi kebiasan rutin. Bahkan tidak sedikit daerah akhirnya mengalami sisa anggaran yang cukup besar.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Arief dan Halim (2014) mengemukakan beberapa Factor yang menyebabkan koindisi diatas, yaitu: kapasitas aparatur sumber daya manusia yang rendah, perencanaan anggaran dan pelaksanaan anggaran. Lebih lanjut Mardiasmo (2009) menyebutkan bahwa Penyerapan anggaran menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan dan mempertanggungjawabkan setiap kegiatan yang telah direncanakannya. Jika melihat sepak terjang pak Bupati dalam memberikan arahan kepada para ASN, baik pada saat apel ataupun di rapat terbatas selalu memberikan arahan berupa diksi “Inovasi”. Banyak pihak termasuk saya terkesan mendefinisikan sebuah inovasi yang selalu digembar gembirkan Pak Bupati kepada jajarannya berwujud program yang mercusuar, padahal inovasi tidak sesederhana itu, malah alih-alih mengcreate program amazing akhirnya amazong”.

Kedua, Desain Inovasi yang Jelas. Selain mengintruksikan menghabiskan anggaran, Pak bupati mengintruksikan untuk optimalisasi kegiatan meskipun diluar Garut, baik ke Lombok, Jogja, atau daerah lainnya. “Apakah kegiatan ditas itu baik atau pemborosan anggaran? Salah seorang jurnalis bertanya kepada saya”. Tentu saya hanya bisa menjawab perlu kajian yang mendalam, sehingga saya bisa menyimpulkan baik atau tidaknya.

Namun yang pasti inovasi yang digembar gembor oleh pak Bupati, harus mempunyai desain inovasi yanh jelas, jangan asal cuap. Setidaknya ada tiga aspek desain inovasi yang harus dijadikan patokan. Pertama, berkaitan dengan rendahnya IPM Kabupaten Garut, kedua, rendahnya daya saing dan ketiga rendahnya pelayann public. Jadi selama apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan kegiatan diluar Kabupaten Garut, selama relate dengan desain inovasi diatas, bagi saya tidak menjadi persoalan.

Ketiga, antara Lombok dan Tiktok. “ada yang bertanya kepada saya, lantas yang dilakukan oleh pak Bupati tidak salah?”. Saya jawab ya, tidak ada yang salah. Karena tidak ada larangan bagi siapa pun, baik pejabat publik maupun masyarakat biasa ketika mencurahkan rasa bahagia ataupun marah melalui media sosial, karena memang eranya demikian. Hanya saja apa yang dilakukan oleh pak Bupati, dan beberapa SKPD lainnya, momentumnya tidak tepat disaat sebagian masyarakat Kabupaten Garut dilanda musibah banjir bandang.

Sebagai masukan saja kepada Pak Bupati maupun pimpinan SKPD di Kabupaten Garut, semakin mencoba mencari pembenaran, maka akan semakin buruk reputasi pak Bupati dihadapan masyarakat Garut maupun luar Garut. Saya mengingatkan bahwa netizen hari ini sangat power full, bahkan fakar marketing terkemuka Hermawan Kertajaya menyebutkan ada tiga sub kultur dalam dunia marketing yang harus diperhatikan saat ini, yaitu Youth, Women dan Netizen.

Maka jika saya menjadi bupati garut, saya akan menjawab seperti ini “atas nama Bupati dan jajaran SKPD, kami memohon maaf atas apa yang dilakukan oleh kami beberapa saat yang lalu di Lombok, tidak ada yang salah, siapapun itu, apakah pejabat publik ataupun masyarakat biasa saat mencurahkan kebahagiaan lewat bermain tiktok, hanya saja kami menyadari moment tersebut salah, apalagi sebagian warga kami sedang terkena musibah banjir bandang. Tanpa mengurangi kepedulian kami, sekali lagi saya atas nama pribadi dan jajaran SKPD memohon maaf kepada seluruh warga Garut, dan sebagai bentuk kesalahan kami, saya berjanji akan berkantor dilokasi dimana musibah terjadi, sampai mulai terurai mulai dari penyebab banjir bandang sampai penanganannya”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *