Covid-19 dan Panic buying, Bertahan atau Pertaruhan Masa Depan

Vela Rostwentivaivi, S.E., M.Si

Ketua Program Studi Agribisnis – Fakultas Pertanian, Universitas Garut

HARIANGARUTNEWS.COM – Covid-19 yang menyerang Indonesia saat ini telah mengubah banyak hal yang berkaitan dengan kepekaan (respon), khususnya perilaku manusia. Dalam menghadapi situasi seperti ini, perilaku seseorang dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari harus berubah dan beradaptasi di tengah krisis ketidakpastian. Saat kondisi genting seseorang tidak akan tahu dengan cepat siapa saja yang terpapar oleh virus tersebut karena bersifat laten, tidak mengetahui apakah dirinya sehat atau terjangkit, bahkan tidak pernah tahu sampai kapan orang tersebut hidup. Kondisi ini yang menyebabkan seseorang melakukan perilaku Panic buying.

Panic buying adalah perilaku yang terjadi akibat kekhawatiran terhadap ketidakpastian yang menyebabkan manusia menimbun apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Teori psikologi menjelaskan Panic buying sebagai respons manusia untuk bertahan hidup. Sejak, isu covid-19 merebak di Indonesia, terjadi serbuan di pasar dan swalayan. Masyarakat membeli sebanyak-banyaknya kebutuhan pokok, seperti beras, gula, minyak goreng, telur, mie instan, dan kebutuhan pokok lainnya. Tidak hanya kebutuhan tersebut yang diburu oleh masyarakat, produk kebersihan diri, kebersihan rumah tangga, masker, handsanitizer, dan antiseptic gel menjadi barang langka di pasar. Kelangkaan dan tingginya produk-produk tersebut, membuat harga jualnya meningkat tajam 5 sampai 10 kali lipat.

Panic buying masuk dalam teori Herd Behaviour, yaitu teori yang melihat tingkah laku seseorang yang bergerak secara kolektif tanpa adanya komando atas dasar kehilangan kontrol diri. Leonard Lee, Profesor Marketing dari NUS Business School dalam penelitiannya “Control Depriviation Motivates Acquisition of Utilitarian Products” (2016) mengatakan di saat manusia tak lagi punya kendali atas lingkungannya, mereka akan berupaya sebisa mungkin untuk memiliki kendali. Membeli kebutuhan pokok dan menimbunnya jadi semacam cara untuk manusia memiliki kendali untuk bertahan hidup.

Mengapa Panic buying ini bisa terjadi ? Ada 4 (empat) hal yang menyebabkan munculnya fenomena Panic buying. Pertama, terjadi karena ketidakpastian atas situasi krisis yang dialami. Kedua, aksi Panic buying dilakukan untuk meminimalisir risiko dari kemungkinan penderitaan secara emosional dan fisik. Ketiga, Panic buying dipengaruhi oleh penularan emosi saat melihat orang lain melakukan pembelanjaan dalam jumlah banyak di tengah situasi krisis. Terakhir, setelah melakukan Panic buying seseorang merasa adanya ketenangan telah menimbun kebutuhan dan dirumuskan dengan hadirnya asumsi “semua terkendali”.

Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Kasus pertama terjadi pada tahun 1922-1923, dimana negera Jerman kalah dalam Perang Dunia I dan mengharuskan negaranya membayar denda yang cukup besar atas kerusakan yang telah dibuatnya. Pembayaran denda dilakukan dengan dana pinjaman. Alih-alih memperbaiki kondisi perekonomian negara, justru Jerman semakin terpuruk ditandai dengan nilai mata uang yang semakin rendah, harga barang-barang melonjak tajam, dan terjadinya hiper-inflasi. Saat inilah warga Jerman berbondong-bondong membeli sebanyak-banyaknya kebutuhan pokok di pasar sebelum kondisi semakin buruk dan untuk beberapa waktu kondisi pasar menjadi lebih buruk lagi.

Kondisi ini hampir mirip seperti yang terjadi di China. Kita tahu bahwa China telah berusaha memperbaiki keadaan yang disebabkan oleh Covid-19 sejak pergantian tahun 2020. China mengalami lebih dulu fenomena Panic buying. Berdasarkan data dari Firma Konsultan Manajemen Bain & Company mencatat saat terjadi pandemi ini, konsumen cenderung membeli barang-barang kebutuhan pokok dalam jumlah besar. Sebaliknya pembelian produk fashion, kosmetik, elektronik dan barang mewah merosot hingga 60-95 persen selama masa isolasi. Belanja konsumen beralih ke e-commerce seperti yang diungkapkan JD.com melonjak hingga 215 persen (Januari-Februari 2020) dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini terjadi karena 80 persen konsumen China memilih berbelanja online.

Bukan tidak mungkin hal ini akan terjadi di Indonesia. Bisnis e-commerce akan meningkat tajam dan produk sekunder serta tersier merosot hingga 95 persen. Sisi lain menunjukkan akan terjadi penyerapan yang sangat besar pada pasar kebutuhan pokok, khususnya makanan. Bila hal ini tidak diimbangi dengan rantai pasok yang baik maka terjadi kelangkaan produk, inflasi dengan diikuti kenaikan harga bahan kebutuhan pokok maupun lainnya. Tidak hanya terjadi krisis kehidupan saja melainkan krisis moneter dan moral. Telah banyak terjadi bahwa Panic buying dapat mengubah perilaku manusia menjadi tidak manusiawi.

Apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi situasi panic buying? Perlu adanya integrasi dalam menghadapi kondisi ini, baik dari unsur pemerintah, pelaku usaha, juga pribadi. Dengan adanya penyerapan pasar secara berlebihan, pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan stok kebutuhan dan memastikan pendistribusian berjalan baik. Peran pelaku usaha sangat penting karena harus dapat memberikan edukasi kepada konsumen agar mampu berbelanja dengan cara bertanggungjawab. Selain itu membuat regulasi pembatasan pembelian dan ikut dalam rangka penindakan tegas bagi oknum yang berbuat curang (penimbunan barang).

Peran utama sebetulnya adalah pribadi masing-masing. Kita harus mampu meningkatkan kesadaran bahwa hidup pada dasarnya adalah memberikan manfaat bagi orang lain. Teknisnya dengan penyebaran berita positif dibandingkan situasi krisis. Alih-alih memberikan update berita terkait peningkatan kasus covid-19 yang membuat banyak orang semakin khawaitr, akan lebih baiknya jika memberikan edukasi, semangat dan doa agar keadaan saat ini semakin membaik. Dengan begitu, pribadi manusia menjadi lebih baik dan tenang.

Garut, 21 Mei 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *