Diduga Penuh Rekayasa, Stop Proyek TPT di Singajaya Garut

FOKUS2,188 views

Penulis ; Galih F.Qurbany

Dir. Pusat Analisa Kebijakan dan Informasi Strategis ( PAKIS )

ADA banyak proyek yang sedang dikerjaan diakhir tahun anggaran 2019 kabupaten Garut, dan proyek pengadaan maupun tender tersebut ada yang berjalan mulus, berhasil dilaksanakan dan ada pula yang dinyatakan gagal karena berbagai alasan. Meski sebagian proyek pengadaan yang diselenggarakan oleh pemda Garut melalui SKPD dinyatakan berhasil dalam lelang, namun belum tentu dalam realisasinya tidak ditemukan masalah. Hal ini baru kita pastikan pada saat tahun anggaran APBD Garut dinyatakan habis per-tanggal 31 Desember 2019. Dari situ dapat kita evaluasi proyek yang mangkrak dan menjadi barang bukti terjadinya korupsi atau proyek tetap jalan dan berhasil diwujudkan  namun ditemukan adanya indikasi korupsi.

Terkait persoalan diatas, ada informasi yang cukup jelas bahwa  salah satunya Proyek TPT  (Tembok Penahan Tebing)  yang berlokasi di kampung Cibitung kecamatan Singajaya senilai RP. 600 juta , yang merupakan anggaran dari Dinas PUPR. Patut diduga adanya aramo berbau KKN dan persengkongkolan (rekayasa) antara pihak penyedia dengan pihak panitia (POKJA) pengadaan, sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan menimbulkan kerugian pada pengusaha lain. Meskipun demikian proyek ini tetap berjalan atas dasar penunjukan langsung setelah dinyatakan 2 kali gagal  oleh POKJA /ULP.

Disamping tercium aroma KKN,  jika kita lacak pada LPSE prov Jabar, Proyek TPT di Kp. Cibitung Singajaya tersebut,  File atas hasil Upload Pokja/ ULP tersebut tidak bisa dan sulit di “Tracking” (ditemukan) dan hilang. Seharusnya hasil upload tersebut baik proyek yang sedang berlasung maupun sudah dinyatakan selesai biasanya bisa kita temukan judulnya. Dan inilah yang menjadi salah satu kejanggalan yang terjadi dan terkesat ingin menghilangkan jejak.

Selain keanehan itu, kerancuan lainnya dapat dilihat pada tahapan pengadaan dan metode lelang yang digunakan oleh pokja, cenderung menyalahi aturan dan patut diduga  sebagai  perbuatan melawan hukum. Indikasi adanya perbuatan bernuansa manipulatif “ngakali” dan berbau KKN,   dapat dilihat dari methode pemilihan dengan menggunakan methode E-Reverse Auction (Penawaran Berulang) yang dilakukan oleh panitia atas dasar, bahwa peserta yang ikut pengadaan langsung tersebut hanya 2 penyedia yang dinyatakan  lolos verifikasi administrasi dan teknis maupun kualifikasi.

Dan dasar hukum yang digunakan adalah Pepres 16/2018, pasal 50 ayat 2 Bahwa : penawaran harga DAPAT dilakukan dengan methode penawaran harga berulang (E-Revese Auction), begitupun pada Perka LKPP 9/2019 dinyatakan bahwa e-reverse  auction DAPAT dilaksanakan sebagai tindak lanjut tender yang hanya terdapat 2 ( dua ) penawar yang lulus evaluasi teknis,untuk berkompetisi dengan cara menyampaikan penawaran harga lebih dari 1 (satu) kali yang bersifat rendah dari harga sebelumnya.dan permenpupr 7/2019, dalam hal terdapat 2 (dua) peserta yang memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan kualifikasi  DAPAT  dilakukan E-reverse auction.

Namun demikain Pokja/ULP seharusnya memahami lebih lanjut bahwa E-reverse auction adalah sebuah metode pemilihan yang memang boleh dilakukan / “DAPAT” dilakukan namun tidak bersifat wajib dan keharusan. Karena sejatinya berdasarkan Pepres 16/2019 bahwa methode pemilihan E- reverse auction tidak dianjurakan  bagi pengadaan dengan jenis pekerjaan kontrusi seperti pengadaan TPT di Cibitung Singajaya ini. Sebagai mana diatur dalam Perka LKPP 9/2019 bahwa kriteria barang / jasa yang bisa di E-reverse Aucttion adalah pada pengadaan Barang/Jasa rutin, dengan volume besar dan resiko rendah. Barang/Jasa yang memiliki spesifikasi sederhana. Adapun jenis contoh produk/komoditas yang bisa diadakan dengan methode ini adalah penawaran pada :  a) bahan bangunan seperti baja ,besi beton, pipa tembaga, b).peralatan teknelogi informasi standar seperti komputer,desktop, perangkat luak standar, c). Alat tulis kantor  d).bahan kimia dan beberapa produk farmasi umum, e). Pengadaan seragam /Pakaian.

Selain POKJA telah menggunakan methode yang salah dengan menggunakan E-reverse Auction  pada jenis penawaran yang bukan pada tempatnya yaitu pengadaan Jasa konstruksi, panita /Pokja ULP juga secara tidak jelas, transparan dan terbuka telah memutuskan bahwa pengadaan dengan methode ini dinyatakan gagal karena kedua peserta /penyedia telah melakukan penawaran dibawah 80% HPS, dan mengambil langkah pengadaan dengan cara Penunjukan Langsung ( Juksung), tanpa ada prsedur yang jelas dengan terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan aturan yang jelas terkait batasan penawaran dll, dalam fase awal ketika pilihan methode e-reverse action diadakan, sehingga tidak menimbulkan kebingungnan, begitupun seharusnya diadakan verifikasi dan evaluasi selanjutnya, atas penawaran yang danggap dibawah harga kewajaran 80% dibawah HPS, yang diajukan oleh kedua peserta tersebut.

Sebagaimana diatur dalam Permenpupr 7/2019, Parlem LKPP 9/2019,  seharusnya sebelum menyatakan lelang dengan metode E-reverse Auction gagal, terlebih dulu diadakan klarifikasi/evaluasi dan negosiasi harga penawaran bila dinyatakan penawaran kedua peserta berada  dibawah harga kewajaran ( 80% HPS ), dan negosiasi ini bisa dilakukan dua tahap yang pertama oleh POKJA dan yang kedua bisa dengan PPK beserta POKJA jika diperlukan, yang intinya bahwa klarifikasi/ evaluasi dan negosiasi ini diharapkan mampu mempercepat kejelasan dan menghindari adanya kegagalan tender sebagai mana telah gagal pada tahap pertama, sebagaimana yang diharapkan oleh philosofis dasar kemunculan Pepres no 16 tahun 2016 ini, yaitu untuk menghilangkan adanya sebuah kegagalan dalam Pengadaan / tender karena akan menghabat laju pembangunan.

Dengan demikian keputusan Pokja ULP yang menyatakan gagal terhadap lelang dengan menggunakan methode e-reverse auction adalah perbuatan yang menyimpang dari ketetapan aturan dan perundang-undangan yang ada, dan dapat dinyatakan perbuatan melawan hukum, beraroma KKN dan penuh rekayasa. Sebagai mana tertuang dalam Pepres no 16 tahun 2018, Bab 3 Pasal 6 tentang Prinsip Pengadaan Barang/Jasa bahwa proses lelang harus memenuhi prinsif  efisien; fektif ; transparan ; terbuka ; bersaing ; adil ; dan akuntabel.

Oleh karena itu demi membangun iklim usaha yang sehat dan transfaransi , dan demi memenuhi  asas keadilan bagi segenap masyarakat terkhusus penyedia Barang/jasa yang merasa dirugikan. Maka sudah seharusnya APH dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan garut dapat melakukan penyelidikan akan adanya penyalahgunaan wewenang ( Abuse of Power ) yang dilakuka oleh ULP maupun PPK yang dalam hal ini Saudara Didan,  sehingga ada efek perbaikan, keadilan, persaingan yang sehat, funish and rewards yang jelas dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Karena jika didapatkan bukti dan diduga ada faktor kesengajaan untuk menggagalkan tender dan lalu atas dasar kegagalan lelang tersebut, POKJA memilih metode lelang dengan Penunjukan langsung kepada pengusaha lain tanpa adanya kalrifikasi /evaluasi kewajaran harga yang seharusnya, maka dapat diduga hal  ini adalah sebuah rekayasa ( mengarahkan ) agar proyek tersebut jatuh kepada pihak tertentu. Dan apabila alasan gagalnya lelang tidak berdasarkan hukum atau alasannya, bertentangan dengan Perpres nomor 16 tahun 2018 maupun 54 tahun 2010 maka ULP dapat dituntut ganti kerugian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yang bunyinya : Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Selain ketentuan pada KUHPerdata, Pasal 118 ayat (7) Perpres nomor 54 tahun 2010 juga menjelaskan ketentuan ganti rugi tersebut. Bunyi Pasal 118 ayat (7) sbb : Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, maka ULP: a. dikenakan sanksi administrasi; b. dituntut ganti rugi; dan/atau c. dilaporkan secara pidana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *