GGW Beberkan Konstruksi Dugaan Korupsi Dana Pokir Yang Libatkan Anggota DPRD Garut

HARIANGARUTNEWS.COM – Kasus dana pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Garut sedang dalam proses penyelidikan oleh Kejaksaan Negeri Garut. Artinya, aparat penegak hukum sedang melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang diduga merupakan tindakan korupsi. Cukup apresiatif atas penanganan kasus. Tetapi masyarakat harus tetap kritis terhadap aparat kejaksaan agar tidak terlibat dalam mafia peradilan. Demikian diungkapkan Ketua Governance Watch (GGW) Agus Sugandhi, Rabu (31/7/2019).

Agus memulai pembicaraannya dengan menjelaskan istilah pokir sebagai salah satu kewenangan DPRD. Menurutnya, kekuasaan DPRD menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah antara lain Membentuk peraturan daerah kabupaten bersama Kepala Daerah, membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD kabupaten.

“Jatah anggaran untuk pimpinan, anggota Badan Anggaran (Banggar) dan anggota “dititipkan” di SOPD tertentu dengan pola korupsi berjamaah. Pola ini merupakan tindakan tertentu yang diulang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dengan melibatkan politisi, birokrat dan pengusaha,” ujarnya.

Anatomi atau kerangka dasar terjadinya dugaan korupsi DPRD, kata Agus, adalah monopoli kekuasaan APBD yang menjadi jatah mereka, diskresi (kewenangan) yang nyaris tidak terbatasi, dan tidak adanya pertanggungjawaban atas setoran anggaran dari pihak ketiga. Dugaan korupsi berjamaah ini diselidiki pihak kejaksaan negeri dan Polres Garut harus dicermati agar tidak terjadi negoisasi status terduga hingga di antara mereka terlepas dari jeratan hukum.

“Pokir DPRD sesungguhnya adalah nomenklatur yang mirip dengan “penjaringan aspirasi masyarakat” sebagaimana pernah tercantum dalam PP 1/2001 dan PP 25/2004 yang pada pokoknya menyatakan anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Hanya kemudian PP 16/2010 menegaskan bahwa “aspirasi masyarakat” berbentuk pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah,” ucapnya.

Agus menuturkan, istilah pokok-pokok pikiran (pokir) tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa, salah satu tugas Badan Anggaran DPRD: “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”.

Ketentuan ini harus dibaca sebagai berikut: (1) penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; (2) disampaikan kepada kepala daerah. Karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah; (3) sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan. Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada kepala daerah; (4) disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum APBD ditetapkan.

Pokok pikiran DPRD ini disampaikan setelah adanya reses yang menghasilkan sejumlah usulan-usulan atau aspirasi yang berasal dari konstituens anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing. Pelaksanaan reses dilakukan tiga kali dalam setahun sekitar bulan April, Agustus dan Desember. Sementara pembahasan APBD dilaksanakan dua kali dalam setahun, sekitar bulan September dan Desember. Sedangkan ketentuan penyampaian pokir DPRD selambatnya 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD. Dari sisi ini terdapat upaya memaksakan hasil reses ke dalam pokir dalam bentuk anggaran yang harus dalam APBD, baik dalam anggaran berjalan atau anggaran yang akan datang. Dengan kondisi tersebut aturan selambatnya 5 (lima) bulan sebelum penetapan anggaran tidak dilakukan. Karena pada waktu pembahasan APBD Perubahan terjadi pembagian “kue” anggaran sudah menjadi pola korupsi dukungan (support corruption) dengan penciptaan suasana kondusif untuk melakukan korupsi. Sampai tahun 2018 kondusifitas ini didukung pula elit birokrasi.

Biasanya jelas Agus, sebelum reses atau setelah reses, tidak sedikit oknum anggota DPRD “menggadaikan” program/kegiatan/proyek pada pihak pemborong atau anggota dewan sendiri yang dianggap mampu memberikan pinjaman. Bahkan tidak sedikit oknum anggota legislative tidak melaksanakan kegiatan reses tapi laporannya ada. Lebih dari itu terdapat oknum anggota dewan dari Dapil I mengambil uang reses sedangkan laporan reses dibuatkan oleh staf DPRD. Memperhatikan pelaksanaan reses dengan tidak diikuti pelaporan yang baik dan benar, kini laporan tersebut diperbaiki dengan arahan oknum aparat penegak hukum.

“Oknum anggota DPRD diduga meminta pada pemborong dengan nilai 10% – 15% dari pagu yang tercantum dalam APBD. Prosentase ini bergantung pada proses pembahasan anggaran. Jika pembahasannya masih jauh hanya 10%. Tetapi jika sedang pembahasan APBD dan sudah dimasukkan dalam APBD dan sudah ada judul pekerjaannya setorannya bisa mencapai 12,5% -15%. Kadang judul proyek itu tidak melalui usulan dalam reses, tetapi ada pemborong yang memasukkan judul proyek anggota dewan dengan setoran 12,5%. Tidak sedikit anggota DPRD itu mengambil utang pada anggota dewan yang lain dengan jaminan pekerjaan sebagai jatah dari APBD. Anggota dewan mengarahkan pada SOPD agar pemborong yang sudah setorkan uang diakomodir sebagai pelaksana proyeknya,” tegasnya.

Dugaan korupsi dana Pokir ini tidak hanya melibatkan anggota legislative, tetapi ada kerkaitan dengan oknum birokrat SOPD. Pasal 8 Peraturan Presiden – No 16 Tahun 2018 – Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa pelaku Pengadaan Barang/Jasa terdiri atas: a. PA; b. KPA; c. PPK; d. Pejabat Pengadaan; e. Pokja Pemilihan; f. Agen Pengadaan; g. PjPHP/PPHP; h. Penyelenggara Swakelola; dan i. Penyedia.

Pengeluaran rekanan/pemborong dalam melaksanakan pekerjaan dari pokir itu diwajibkan mengeluarkan dana pada oknum birokrat untuk (sebagai berikut,red): Berita Acara Kontrak 3% – 4% dari pagu; Biaya Survey Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000; Aparat pemerintah di tingkat bawah Rp. 100.000 – Rp. 1.000.000; Pengawas dari Dinas Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000; Astek Rp. 400.000; PPn dan PPh 12%; Pajak Galian C Rp. 700.000 – Rp. 2.000.000; Biaya Umum (BU) 9% – 12,5%.

Atas beban pengeluaran pemborong tersebut kualitas pekerjaan setidaknya hanya 30% – 40% dari pagu yang ditetapkan APBD. Kejadian dugaan korupsi DPRD ini tidak hanya dakam satu tahun anggaran, tetapi berlangsung sejak tahun 2014 – 2018. Anggaran pokir ini rata-rata pertahunnya hingga Rp. 130 Milyar. Sehingga tingkat kerugian Negara tidak akan kurang dari Rp. 97 Milyar. Pungkas Agus. (DAUS)***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *